f

Senin, 23 Agustus 2010

Analisis Tingkat Kepuasan Siswa Dalam Mempelajari Akuntansi

Judul : Analisis Tingkat Kepuasan Siswa Dalam Mempelajari Akuntansi
Studi Kasus : Siswa Kelas XI Jurusan IPS SMAN 1 Purworejo Tahun Ajaran 2004/2005
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang Masalah Penelitian
Undang undang Sistem Pendidikan Nasional 2003 ( UU RI No. 20 Tahun
2003 ) pasal 14 menyatakan bahwa jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Selanjutnya dalam pasal 18
disebutkan bahwa pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah
Kejuruan (MAK), atau bentuk lain sederajat. Khususnya untuk SMA, berdasarkan
kurikulum terbaru, penjurusan dilakukan di kelas XI yang terdiri dari 3 jurusan yaitu
IPA, IPS dan Bahasa. Materi Akuntansi diajarkan pada semua siswa dikelas X, kelas
XI jurusan IPS dan kelas XII jurusan IPS.
Fungsi pembelajaran akuntansi di SMA adalah untuk mengembangkan
pengetahuan, keterampilan, sikap rasional, teliti, jujur dan bertanggungjawab melalui
prosedur pencatatan, pengelompokan, pengikhtisaran transaksi keuangan yang terjadi
selama periode pembukuan. Tujuan mempelajari akuntansi di sekolah adalah
membekali siswa dengan berbagai kompetensi dasar. Dengan berbagai kompetensi
tersebut siswa diharapkan mampu menguasai dan menerapkan konsep-konsep dasar,
prinsip dan prosedur akuntansi yang benar, baik untuk kepentingan melanjutkan
pendidikan ke perguruan tinggi maupun terjun ke masyarakat sehingga memberikan
manfaat bagi kehidupan siswa dan masyarakat di sekitarnya (Depdiknas, 2003:2).
Porsi pembelajaran materi akuntansi di jurusan IPS lebih besar dibandingkan
dengan kelas X. Bagi sebagian besar siswa, materi akuntansi biasanya dijadikan
sesuatu yang sulit, karena tingkat kesulitan mempelajarinya lebih tinggi diantara
ilmu-ilmu sosial yang lain, yang disebabkan materi akuntansi berhubungan dengan
angka-angka yang menuntut ketelitian yang tinggi. Oleh karena itu sangat penting
adanya sebuah kepuasan yang tinggi untuk mempelajari akuntansi ini agar output
yang tinggi dapat dicapai.
Teori Motivasi-higienis Herzberg (dalam Handoko, 1995:259 dan Robbins,
2001:169) menyebutkan adanya dua kelompok faktor yang mempengaruhi kerja
seseorang dalam organisasi. Faktor-faktor penyebab kepuasan kerja (job satisfaction)
mempunyai pengaruh pendorong bagi prestasi dan semangat kerja, dan faktor-faktor
penyebab ketidakpuasan kerja (job dissatisfaction) mempunyai pengaruh negatif.
Herzberg membedakan antara faktor intrinsik yaitu motivators atau pemuas
(satisfiers) dan faktor-faktor ekstrinsik yaitu faktor pemeliharaan atau hygienic
factors (dissatisfiers). Motivator mempunyai pengaruh meningkatkan prestasi atau
kepuasan kerja sedangkan faktor-faktor pemeliharaan mencegah merosotnya
semangat kerja atau efisiensi, dan meskipun faktor-faktor ini tidak dapat memotivasi,
tetapi dapat menimbulkan ketidakpuasan kerja atau menurunkan produktifitas.
Perbaikan terhadap faktor-faktor pemeliharaan akan mengurangi atau menghilangkan
ketidakpuasan kerja, tetapi tidak dapat dipergunakan sebagai sumber kepuasan kerja.
Teori ini bila diaplikasikan pada pembelajaran siswa terhadap akuntansi yaitu
satisfiers mempunyai pengaruh memberikan motivasi untuk selanjutnya akan
menciptakan kepuasan siswa dalam mempelajari akuntansi dan memberikan output
optimum. Sedangkan dissatisfiers memberikan efek negatif yaitu akan menciptakan
ketidakpuasan siswa dalam mempelajari akuntansi dan tentunya output yang tidak
diharapkan. Dalam proses belajar mengajar (PBM) akuntansi pengkondisian satisfier
sangat penting untuk dilakukan dan dissatisfier sebaiknya diminimalkan.
SMAN 1 Purworejo adalah salah satu SMA yang berada di kabupaten
Purworejo. Sebagai SMA yang berprestasi, SMAN 1 Purworejo memiliki input siswa
yang baik. Hal ini ditandai dengan passing grade yang tinggi pada saat proses seleksi
penerimaan siswa baru yaitu sebesar 21,87 dari 3 mata pelajaran dalam Nilai Ujian
Akhir Nasional atau sekitar rata-rata 7,29. Penjurusan di SMAN 1 Purworejo
dilakukan di kelas XI yang meliputi jurusan IPA dan IPS. Jumlah kelas untuk jurusan
IPS sebanyak 2 kelas yaitu IPS 1 dan IPS 2 dengan jumlah siswa masing-masing
kelas sebanyak 34 siswa. Di jurusan IPS ini siswa lebih banyak mendapatkan mata
pelajaran yang berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial, salah satunya adalah mata
pelajaran ekonomi. Mata pelajaran Ekonomi di SMAN 1 Purworejo memiliki jumlah
jam pelajaran sebanyak 6 jam pelajaran dengan masing-masing adalah 45 menit. Dari
jumlah tersebut dibagi untuk materi ekonomi sebanyak 4 jam pelajaran dan materi
akuntansi sebesar 2 jam pelajaran. Namun hal ini disesuaikan dengan kondisi dan
selesainya materi. Pembelajaran akuntansi di SMAN 1 Purworejo memiliki
dinamika tersendiri. Bagi siswa kelas XI jurusan IPS SMAN 1 Purworejo tingkat
kepuasan dalam mempelajari akuntansi belum optimum. Hal ini berdampak pada
nilai-nilai materi akuntansi mereka di semester ganjil yang masih berada dibawah
rata-rata.
Berangkat dari tantangan tersebut sangat relevan diadakan penelitian, kajian
atau evaluasi untuk menganalis tingkat kepuasan siswa dalam mempelajari
akuntansi. Hasil dari penelitian yang akan dilakukan diharapkan akan diidentifikasi
dan dipahami tentang karakteristik dari faktor-faktor satisfiers dan dissatisfiers
dalam mempelajari materi akuntansi untuk kemudian menetapkan alternatif
kemungkinan pemecahannya.
1.2 Rumusan Masalah
Teori Motivasi-pemeliharaan Herzberg (dalam Malayu S.P Hasibuan,
2001:228 dan Handoko, 1995:259) menyebutkan bahwa terdapat dua kelompok
faktor yang mempengaruhi kerja seseorang dalam organisasi. Faktor-faktor penyebab
kepuasan kerja (job satisfaction) mempunyai pengaruh pendorong bagi prestasi dan
semangat kerja, dan faktor-faktor penyebab ketidakpuasan kerja (job dissatisfaction)
mempunyai pengaruh negatif. Herzberg membedakan antara motivators atau pemuas
(satisfiers) dan faktor-faktor pemeliharaan atau hygienic factors (dissatisfiers).
Motivator mempunyai pengaruh meningkatkan prestasi atau kepuasan kerja
sedangkan faktor-faktor pemeliharaan mencegah merosotnya semangat kerja atau
efisiensi, dan meskipun faktor-faktor ini tidak dapat memotivasi, tetapi dapat
menimbulkan ketidakpuasan kerja atau menurunkan produktifitas. Perbaikan
terhadap faktor-faktor pemeliharaan akan mengurangi atau menghilangkan
ketidakpuasan kerja, tetapi tidak dapat dipergunakan sebagai sumber kepuasan kerja.
Teori ini bila diaplikasikan pada pembelajaran siswa terhadap akuntansi yaitu
satisfiers mempunyai pengaruh memberikan motivasi untuk selanjutnya akan
menciptakan kepuasan siswa dalam mempelajari akuntansi dan memberikan output
optimum. Sedangkan dissatisfiers memberikan efek negatif yaitu akan menciptakan
ketidakpuasan siswa dalam mempelajari akuntansi dan tentunya output yang tidak
diharapkan. Dalam proses belajar mengajar (PBM) akuntansi pengkondisian
satisfiers sangat penting untuk dilakukan dan dissatisfier sebaiknya diminimalkan.
Selaras dengan uraian diatas maka timbul permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana deskripsi faktor-faktor satisfiers dalam mempelajari akuntansi pada
siswa kelas XI jurusan IPS SMAN 1 Purworejo tahun ajaran 2004/2005.
2. Bagaimana deskripsi faktor-faktor dissatisfiers dalam mempelajari akuntansi
pada siswa kelas XI jurusan IPS SMAN 1 Purworejo tahun ajaran 2004/2005.
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk dapat melaksanakan penelitian dengan baik dan mengenai sasaran,
maka penelitian harus mempunyai tujuan. Adapun tujuan diadakannya penelitian ini
adalah ingin mendeskripsikan dan menganalisis:
1. Faktor-faktor satisfiers dalam mempelajari akuntansi pada siswa kelas XI jurusan
IPS SMAN 1 Purworejo tahun ajaran 2004/2005.
2. Faktor-faktor dissatisfiers dalam mempelajari akuntansi pada siswa kelas XI
jurusan IPS SMAN 1 Purworejo tahun ajaran 2004/20
1.4 Kegunaan Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan memberikan kegunaan yakni:
1.4.1 Kegunaan secara teoritik
1. Secara teoritik mencoba menguji teori motivasi-higienis Herzberg tentang
kepuasan siswa terhadap mata pelajaran akuntansi yang berkaitan dengan
faktor satisfiers dan dissatisfiers.
2. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan media untuk belajar memecahkan
masalah secara ilmiah dan memberikan sumbangan pemikiran berdasarkan
disiplin ilmu yang diperoleh di bangku kuliah.
3. Bagi civitas akademika dapat menambah informasi, sumbangan pemikiran
dan bahan kajian dalam penelitian.
1.4.2 Kegunaan secara praktis.
- Sebagai bahan masukan atau sumbangan pemikiran bagi SMAN 1
Purworejo dalam peningkatan kepuasan belajar pada mata pelajaran
ekonomi akuntansi.


BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Tingkat Kepuasan Siswa dalam Mempelajari Akuntansi
2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Sondang P. Siagian (1993:295) menyebutkan bahwa yang dimaksud
kepuasan kerja adalah cara pandang seseorang baik yang bersifat positif maupun
negatif. Sedangkan kepuasan kerja menurut Susilo Martoyo (1992:115) adalah
keadaan emosional karyawan dimana terjadi ataupun tidak terjadi titik temu antara
nilai balas jasa karyawan dari perusahaan dengan tingkat nilai balas jasa yang
memang diinginkan oleh karyawan yang bersangkutan. Balas jasa karyawan tersebut,
baik berupa financial maupun non financial.
Foustino dalam Susilo Martoyo (1997:178) menyebutkan bahwa suatu
kesimpulan menyeluruh tentang kepuasan hanya akan memberikan pertimbangan
subyektif dari pegawai mengenai kepuasan sehubungan dengan gaji, keselamatan
kerja, supervisi, relasi-relasi antar perorangan dalam bekerja, peluang-peluang di
masa yang akan datang, dan pekerjaan itu sendiri. Selanjutnya dijelaskan bahwa
kepuasan dari pegawai itu mungkin mempengaruhi kehadirannya pada kerja dan
keinginan untuk ganti pekerjaan juga dapat mempengaruhi kesediaan untuk bekerja.
Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan salah satu aspek psikologis yang
mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya, ia akan merasa puas
apabila ada kesesuaian antara kemampuan, keterampilan dan harapannya dengan
pekerjaan yang ia hadapi. Kepuasan sesungguhnya merupakan keadaan yang sifatnya

subjektif yang merupakan hasil simpulan yang didasarkan pada suatu perbandingan
mengenai apa yang secara nyata diterima oleh pegawai dari pekerjaannya
dibandingkan dengan apa yang diharapkan, diinginkan dan dipikirkannya sebagai hal
yang pantas, atau berhak baginya. Sementara setiap karyawan secara subjektif
menentukan bagaimana pekerjaan itu memuaskan.
2.1.2 Teori-Teori Kepuasan Kerja
Menurut Wexley dan Yulk yang dikutip Moh. As’ad (1995:105) pada
dasarnya teori-teori tentang kepuasan kerja yang lazim dikenal ada tiga macam,
yaitu: (1) Discrepancy theory, (2) Equity theory, (3) Two factors theory. Berikut
adalah penjelasan masing-masing dari teori tersebut.
Discrepancy theory yang dipelopori oleh Porter menjelaskan bahwa kepuasan
kerja seseorang diukur dengan menghitung selisih apa yang seharusnya dengan
kenyataan yang dirasakan. Kemudian Locke dalam Moh As’ad (1995:105)
menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung pada perbedaan antara apa
yang diinginkan dengan apa yang menurut perasaannya atau persepsinya telah
diperoleh atau dicapai melalui pekerjaannya. Orang akan puas bila tidak ada
perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas
minimum yang diinginkan maka orang kan menjadi lebih puas lagi walaupun
terdapat discrepancy tetapi merupakan discrepancy positif. Sebaliknya makin jauh
makin jauh dari kenyataan yang dirasakan itu dibawah standar minimum sehingga
menjadi negatif discrepancy maka makin besar pula ketidakpuasan seseorang dalam
pekerjaannya.
Dalam equity theory kepuasan kerja seseorang tergantung apakah ia
merasakan keadilan atau tidak atau suatu situasi. Perasaan keadilan atau
ketidakadilan atas sesuatu diperoleh orang lain dengan cara membandingkan dirinya
dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun tempat lain. Elemen-elemen dari
keadilan ada tiga yaitu: input, outcomes, dan comparation person. Input adalah
sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai sumbangan terhadap
pekerjaannya seperti: pendidikan, pengalaman, dan kecakapan. Sedangkan outcomes
adalah sesuatu yang berharga yang dirasakan sebagai hasil dari pekerjaannya seperti:
gaji, status, simbol, dan penghargaan. Comparation person adalah kepada orang lain
dengan siapa karyawan membandingkan input-outcomes orang lain. Bila
perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan bisa menimbulkan kepuasan
kepuasan tetapi bisa pula tidak. Akan tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang dan
merugikan, akan menimbulkan ketidakpuasan (Moh As’ad, 1995:111).
Menurut Two factors theory, kepuasan kerja merupakan dua hal yang
berbeda. Artinya kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu tidak
merupakan suatu variabel yang kontinyu. Herzberg dalam bukunya Malayu S.P
Hasibuan (2001:229), Handoko (1995:259), dan Robbins (2001:169) menyebutkan
bahwa terdapat dua kelompok faktor yang mempengaruhi kerja seseorang dalam
organisasi. Faktor-faktor penyebab kepuasan kerja (job satisfaction) mempunyai
pengaruh pendorong bagi prestasi dan semangat kerja, dan faktor-faktor penyebab
ketidakpuasan kerja (job dissatisfaction) mempunyai pengaruh negatif. Herzberg
membedakan antara motivators atau pemuas (satisfiers) dan faktor-faktor
pemeliharaan atau hygienic factors (dissatisfiers). Motivator mempunyai pengaruh
meningkatkan prestasi atau kepuasan kerja sedangkan faktor-faktor pemeliharaan
mencegah merosotnya semangat kerja atau efisiensi, dan meskipun faktor-faktor ini
tidak dapat memotivasi, tetapi dapat menimbulkan ketidakpuasan kerja atau
menurunkan produktifitas. Perbaikan terhadap faktor-faktor pemeliharaan akan
mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan kerja, tetapi tidak dapat
dipergunakan sebagai sumber kepuasan kerja.
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Pendapat Horld E. Burt yang dikutip Moh As’ad (1995:112) tentang faktorfaktor
yang dapat mempengaruhi timbulnya kepuasan kerja sebagai berikut:
a. Faktor hubungan antar karyawan, antara lain:
1) hubungan antara manager dan karyawan
2) faktor fisik dan kondisi kerja
3) hubungan sosial diantara karyawan
4) sugesti dari teman sekerja
5) emosi dan situasi kerja
b. Faktor individual, yaitu yang berhubungan dengan:
1) sikap orang terhadap pekerjaannya
2) umur orang sewaktu bekerja
3) jenis kelamin
c. Faktor-faktor luar yang berhubungan dengan:
1) keadaan keluarga karyawan
2) rekreasi
3) pendidikan
Susilo Martoyo (1987:123) mengatakan bahwa salah satu faktor yang
memungkinkan tumbuhnya kepuasan kerja adalah pengaturan yang tepat dan adil
atas pemberian kompensasi. Pendapat lain dari Blum dalam Moh As’ad (1995:114)
tentang faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja adalah sebagai berikut:
a. Faktor individual yang meliputi: umur, kesehatan, watak, dan harapan
b. Faktor sosial yang meliputi: hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat,
kesempatan berekreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik, dan
hubungan kemasyarakatan.
c. Faktor utama dalam pekerjaan meliputi: upah, pengawasan, ketentraman kerja,
kondisi kerja dan kesempatan untuk maju.
Moh As’ad (1995:115) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan
kerja menjadi:
a. Faktor psikologik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan
karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap kerja,
bakat dan keterampilan
b. Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik
antara sesama karyawan, dengan atasannya maupun karyawan yang berbeda jenis
pekerjaannya.
c. Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik
lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi: jenis pekerjaan,
pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan
ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan keryawan, umur
dan sebagainya.
Herzberg dengan two factors theory dalam Malayu S.P Hasibuan (2001:229)
membagi faktor-faktor yang termasuk dalam kepuasan kerja kedalam 2 faktor yaitu:
a. Faktor intrinsik atau faktor motivasional atau satisfiers terdiri dari
1) prestasi (achievement)
2) pengakuan (recognition)
3) pekerjaan itu sendiri (the work itself)
4) tanggungjawab (responsibility)
5) pengembangan potensi individu (advancement)
b. Faktor ekstrinsik atau faktor higienis atau dissatisfiers terdiri dari:
1) gaji atau upah (wages or salaries)
2) kondisi kerja (working condition)
3) kebijaksanaan dan administrasi perusahaan (policy and administration)
4) hubungan antar pribadi (interpersonal relation)
5) kualitas supervisi (quality supervisor).
Hasil penelitian Herzberg (Malayu S.P Hasibuan, 2001:229) menyarankan
bahwa faktor-faktor seperti kondisi kerja dan gaji harus mencukupi untuk menjaga
karyawan agar tetap merasa puas. Namun kondisi kerja yang dan gaji yang lebih dari
cukup akan menyebabkan tingkat kepuasan yang tinggi tidak diperlukan. Selain itu,
tingkat kepuasan karyawan yang tinggi akan dengan mudah dicapai dengan
menawarkan insentif yang lain, seperti tanggung jawab. Jika manajer dapat
meningkatkan kepuasan dengan memberi tanggungjawab yang lebih besar kepada
karyawan, maka hal itu akan memotivasi karyawan untuk lebih produktifFaktor-faktor higienis Herzberg biasanya berhubungan dengan kebutuhan
dasar Maslow (seperti keamanan pekerjaan). Hal ini menyarankan jika faktor
higienis sudah mencukupi, maka akan memenuhi kebutuhan dasar karyawan lebih
banyak. Pemenuhan atas kebutuhan-kebutuhan itu dapat mencegah karyawan dari
ketidakpuasan, sehingga karyawan menjadi termotivasi untuk meraih golongan
kebutuhan yang lebih tinggi lagi. Faktor-faktor motivasional Herzberg (seperti
pengakuan), umumnya berhubungan dengan hierarki Maslow yang lebih ambisius.
2.1.4 Kepuasan Siswa dalam Mempelajari Akuntansi
Dari uraian mengenai teori-teori yang berkaitan dengan kepuasan kerja, maka
dalam penelitian ini menggunakan teori Herzberg yaitu two factors theory. Hal ini
juga berdasarkan pertimbangan dari Moh As’ad (1995:115) yang mengatakan bahwa
orang yang akan mencari aspek-aspek pekerjaan yang merupakan sumber-sumber
kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja di suatu tempat, maka teori dua faktor
Herzberg merupakan pilihan yang tepat. Juga karena Teori Herzberg muncul
berdasarkan hasil penelitian dan sudah diujicobakan kebenarannya.
Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan salah satu aspek psikologis yang
mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya, ia akan merasa puas
apabila ada kesesuaian antara kemampuan, keterampilan dan harapannya dengan
pekerjaan yang ia hadapi. Kepuasan sesungguhnya merupakan keadaan yang sifatnya
subjektif yang merupakan hasil simpulan yang didasarkan pada suatu perbandingan
mengenai apa yang secara nyata diterima oleh pegawai dari pekerjaannya
dibandingkan dengan apa yang diharapkan, diinginkan dan dipikirkannya sebagai hal
yang pantas, atau berhak baginya. Sementara setiap karyawan secara subjektif
menetukan bagaimana pekerjaan itu memuaskan.
Konsep kepuasan kerja berlaku dalam semua kondisi kerja, baik itu dalam
perusahaan, pemerintahan, sekolah, termasuk dalam mempelajari pelajaran
akuntansi. Tingkat kepuasan siswa dalam mempelajari akuntansi merupakan salah
satu aspek psikologis yang mencerminkan perasaan siswa terhadap pelajaran
akuntansi. Siswa akan merasa puas apabila ada kesesuaian antara kemampuan,
keterampilan dan harapannya dengan pelajaran akuntansi yang dihadapi. Sebaliknya
siswa akan merasa tidak puas apabila terdapat ketidakcocokan antara harapan,
keterampilan dan kemampuannya terhadap materi akuntansi yang ia pelajari di
sekolah. Aplikasinya pada pembelajaran siswa terhadap akuntansi yaitu satisfiers
mempunyai pengaruh memberikan motivasi untuk selanjutnya akan menciptakan
kepuasan siswa dalam mempelajari akuntansi dan memberikan output optimum.
Sedangkan dissatisfiers memberikan efek negatif yaitu akan menciptakan
ketidakpuasan siswa dalam mempelajari akuntansi dan tentunya output yang tidak
diharapkan. Dalam proses belajar mengajar (PBM) akuntansi pengkondisian satisfier
sangat penting untuk dilakukan dan dissatisfier sebaiknya diminimalkan.
2.2 Satisfiers pada Tingkat Kepuasan Siswa dalam Mempelajari Akuntansi
2.2.1 Pengertian Motivasi
Malayu S.P. Hasibuan (2001:219) membedakan antara motif dan motivasi.
Motif adalah suatu perangsang keinginan (want) dan daya penggerak kemauan
bekerja seseorang. Setiap motif mempunyai tujuan tertentu untuk dicapai. Sedangkan
motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja
seseorang agar mereka mau bekerjasama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan
segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan.
W.S. Winkel dalam Max Darsono (2001:61) mengatakan bahwa motif adalah
daya penggerak di dalam diri orang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu
demi mencapai suatu tujuan tertentu. Jadi motif itu merupakan suatu kondisi internal
atau disposisi internal. Dalam bahasa yang lebih sederhana, motif itu adalah
“kesiapsiagaan” dalam diri seseorang. Motivasi diartikan sebagai motif yang sudah
menjadi aktif pada saat-saat melakukan suatu perbuatan, sedangkan motif sudah ada
dalam diri seseorang, jauh sebelum orang itu melakukan suatu perbuatan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Atkinson dalam Jeff Madura (2001:3)
bahwa motif adalah suatu disposisi laten yang berusaha dengan kuat untuk menuju
ke tujuan tertentu; tujuan ini dapat berupa prestasi, afiliasi, atau kekuasaan.
Sedangkan motivasi adalah keadaan individu yang terangsang yang terjadi jika suatu
motif telah dihubungkan deangn suatu pengharapan yang sesuai. Menurut James O
Whittaker dalam Terry (2001: 186) motivasi adalah suatu istilah yang sifatnya luas,
yang digunakan dalam psikologi, yang meliputi kondisi-kondisi atau keadaan
internal yang mengaktifkan atau memberi kekuatan pada organisme, dan
mengarahkan tingkah laku organisme mencapai tujuan.
Dari beberapa pendapat para ahli tentang motivasi dapat disimpulkan bahwa
motivasi diartikan sebagai keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong
keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai
tujuan. Motif bersifat potensial, sedangkan motivasi bersifat aktual.
2.2.2 Teori-Teori Motivasi
Malayu S.P Hasibuan (2001:222) membagi teori motivasi kedalam tiga
kelompok yaitu:
a. Teori Isi (Content Theory)
Teori kepuasan ini mendasarkan pendekatan atas faktor-faktor kebutuhan dan
kepuasan individu yang menyebabkannya bertindak dan berperilaku dengan cara
tertentu. Teori ini memusatkan perhatian pada faktor-faktor dalam diri orang yang
menguatkan, mengarahkan, mendukung, dan menghentikan perilakunya. Teori ini
mencoba menjawab pertanyaan kebutuhan apa yang memuaskan dan mendorong
semangat bekerja seseorang. Hal yang memotivasi semangat bekerja adalah untuk
memenuhi kebutuhan dan kepuasan material maupun non material yang diperolehnya
dari hasil pekerjaannya. Jika kebutuhan dan kepuasannya semakin terpenuhi maka
semangat bekerjanya akan semakin baik pula. Jadi pada dasarnya teori ini
mengemukakan bahwa seseorang akan bertindak (bersemangat kerja) untuk dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan (inner needs) dan kepuasannya.
Content theory terbagi menjadi 7 yaitu: (1) Teori Motivasi Klasik oleh F .W.
Taylor, (2) Maslow’s Need Hierarchy Theory ( A Theory of Human Motivation) oleh
A.H. Maslow, (3) Herzberg’s Two Factors Motivation Theory oleh Frederick
Herzberg, (4) Mc. Clelland’s Achievement Motivation Theory oleh Mc Clelland, (5)
Existence, Relatedness and Growth (ERG) Theory oleh Alderfer, (6) Teori Motivasi
Human Relation, dan (7) Teori Motivasi Claude S. George. Teori yang akan dibahas
disini adalah teori motivasi klasik, teori kebutuhan Maslow, dan teori motivasihigienis
dari Herzberg.
1) Teori Motivasi Klasik
Teori motivasi klasik (teori kebutuhan tunggal) ini dikemukakan oleh
Frederick Winslow Taylor. Menurut teori ini motivasi para pekerja hanya
untuk dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan biologis saja. Kebutuhan
biologis adalah kebutuhan yang diperlukan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup seseorang. Kebutuhan dan kepuasan biologis ini akan
terpenuhi, jika gaji atau upah (berupa uang atau barang) diberikan cukup
besar. Jadi jika gaji atau upah karyawan dinaikkan maka semangat bekerja
mereka akan meningkat.
2) Maslow’s Need Hierarch Theory
Teori ini menjawab bagaimana sebuah organisasi mungkin dapat
membantu memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar. Teori ini berdasarkan
asumsi:
a) individu yang mempunyai berbagai kebutuhan-kebutuhan yang
mempengaruhi perilakunya
b) kebutuhan-kebutuhan tersebut ditata sesuai dengan suatu hierarki
kepentingan.
c) kebutuhan-kebutuhan seorang individu pada tiap tingkat pada hierarki
kebutuhan akan timbul hanya setelah kebutuhan tingkat bawah secara
rasional terpuaskan dengan baik.
Hierarki kebutuhan menurut Maslow terdiri dari:
a) Kebutuhan fisik ( physiological needs)
Kebutuhan fisik adalah kebutuhan yang diperlukan untuk
mempertahankan hidup seseorang agar terus berlangsung. Teoritis: terdiri
makan, minum, perumahan, seks, dan istirahat. Terapan: ruang istirahat,
berhenti untuk makan siang, udara bersih untuk bernafas, air untuk
minum, liburan, cuti, balas jasa, jaminan sosial, dan periode istirahat on
the job ( T Hani Handoko, 1995:256).
b) Kebutuhan keamanan dan rasa aman (safety and security needs)
Teoritis: terdiri dari perlindungan dan stabilitas. Penerapannya
lewat pengembangan karyawan, kondisi kerja yang aman, rencana
senioritas, serikat kerja, tabungan, uang pesangon, jaminan pensiun,
asuransi, dan sistem penanganan keluhan
c) Kebutuhan sosial (affiliation or acceptance needs)
Ada empat kelompok kebutuhan sosial yaitu: kebutuhan akan
perasaan, diterima orang lain di lingkungannya, kebutuhan akan perasaan
dihormati, kebutuhan akan perasaan kemajuan, dan kebutuhan akan
perasaan ikut serta dalam kegiatan perusahaan. Kebutuhan ini
menggambarkan keinginan kasih sayang, afiliasi, dan persahabatan
dengan orang lain.
d) Kebutuhan harga diri (esteem or status needs)
Kebutuhan harga diri merupakan kebutuhan akan penghargaan
prestasi dari karyawan dan masyarakat lingkungannya ( Malayu
Hasibuan, 1996). Teoritisnya berupa status, kepercayaan diri, pengakuan,
reputasi dan prestasi, apresiasi, kehormatan diri, dan penghargaan.
Terapannya adalah kekuasaan, promosi, ego, hadiah, status, simbol,
pengakuan, jabatan, dan penghargaan (T Hani Handoko, 1995:258).
e) Kebutuhan perwujudan diri atau aktualisasi diri (self actualization)
Merupakan kebutuhan akan aktualisasi diri dengan menggunakan
kecakapan, kemampuan, keterampilan, dan potensi optimal untuk
mencapai prestasi kerja. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan
merealisasikan kapasitas seseorang serta potensinya untuk pencapaian
tujuan.
3) Teori motivasi-higienis Herzberg
Dalam Malayu S.P Hasibuan (2001:225) disebutkan bahwa teori ini
berasal dari penelitiannya tentang penentuan faktor-faktor yang menuntun
pada kepuasan terhadap pekerjaan. Motivasi yang ideal yang dapat
merangsang usaha adalah peluang untuk melaksanakan tugas yang lebih
membutuhkan keahlian dan peluang untuk pengembangan kemampuan.
Herzberg menyatakan bahwa dalam melaksanakan pekerjaannya
dipengaruhi oleh dua faktor yang merupakan kebutuhan, yaitu:
22
a) Maintenance Factors
Maintenance factors adalah faktor-faktor pemeliharaan yang
berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh
ketentraman badaniah. Kebutuhan kesehatan ini menurut Herzberg
merupakan kebutuhan yang berlangsung terus menerus, karena kebutuhan
ini kembali pada titik nol setelah dipenuhi. Misalnya orang akan makan,
kemudian lapar lagi, lalu makan lagi, dan seterusnya.
Faktor-faktor pemeliharaan ini meliputi hal-hal gaji, kondisi kerja
fisik, kepastian pekerjaan, supervisi yang menyenangkan, mobil dinas,
rumah dinas, dan macam-macam tunjangan lainnya. Hilangnya faktorfaktor
pemeliharaan ini dapat menyebabkan timbulnya ketidakpuasan dan
absennya karyawan, bahkan dapat menyebabkan banyak karyawan yang
keluar. Faktor-faktor pemeliharaan ini perlu mendapat perhatian yang
wajar dari pimpinan agar kepuasan dan kegairahan bekerja bawahan dapat
ditingkatkan. Maintenance factors ini bukanlah merupakan motivasi bagi
karyawan, tetapi merupakan keharusan yang diberikan oleh pimpinan
kepada mereka, demi kesehatan dan kepuasan bawahan. Menurut
Herzberg maintenance factors bukan alat motivator sedangkan menurut
Maslow merupakan alat motivator bagi karyawan.
b) Motivation Factors
Motivation factors adalah faktor motivator yang menyangkut
kebutuhan psikologis seseorang yaitu perasaan sempurna dalam
melaksanakan pekerjaan. Faktor motivasi ini berhubungan dengan
penghargaan terhadap pribadi yang langsung berkaitan dengan pekerjaan,
misalnya kursi yang empuk, ruangan yang nyaman, penempatan yang
tepat dan sebagainya.
Dari teori ini timbul pemahaman bahwa dalam perencanaan
pekerjaan harus diusahakan sedemikian rupa, agar kedua faktor ini dapat
dipenuhi. Banyak kenyataan yang dapat dilihat misalnya dalam suatu
perusahaan, kebutuhan kesehatan mendapat perhatian yang lebih banyak
daripada pemenuhan kebutuhan individu secara keseluruhan. Hal ini
dapat dipahami, karena kebutuhan ini mempunyai pengaruh yang
dominan terhadap kelangsungan hidup individu. Kebutuhan peningkatan
prestasi dan pengakuan ada kalanya dapat dipenuhi dengan memberikan
bawahan suatu tugas yang menarik untuk dikerjakan sedemikian rupa,
sehingga dapat menstimulasi dan menantang si pekerja serta menyediakan
kesempatan baginya untuk maju.
Perbedaan antara Maslow’s Need Hierarchy Theory dengan
Herzberg’s Two Factors Motivation Theory, yaitu:
a) Maslow mengemukakan bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia itu
terdiri dari lima tingkat (Physiological, Safety, Affiliation, Esteem, dan
Self Actualization) sedangkan Herzberg mengelompokkannya atas dua
kelompok (satisfiers dan dissatisfiers)
b) Menurut Maslow semua tingkat kebutuhan itu merupakan alat
motivator sedang Herzberg (gaji, upah dan yang sejenisnya) bukan
alat motivasi, hanya merupakan alat pemeliharaan (dissatisfiers) saja;
yang menjadi motivator (satisfiers) ialah yang berkaitan langsung
dengan pekerjaan itu.
c) Teori Maslow dikembangkan hanya atas pengamatan saja dan belum
pernah diuji coba kebenarannya, sedang teori Herzberg didasarkan
atas hasil penelitiannya.
Pada dasarnya kedua teori ini sama-sama bertujuan mendapatkan
alat dan cara yang terbaik dalam memotivasi semangat kerja karyawan,
agar mereka mau bekerja giat untuk mencapai prestasi kerja yang optimal.
b. Teori Proses
Teori proses ini pada dasarnya berusaha untuk menjawab pertanyaan
bagaimana menguatkan, mengarahkan, memelihara, dan menghentikan perilaku
individu agar setiap individu bekerja giat sesuai dengan keinginan manajer. Apabila
diperhatikan secara mendalam, teori ini merupakan proses sebab dan akibat
bagaimana seseorang bekerja serta hasil apa yang diperolehnya. Jika bekerja baik
saat ini maka hasilnya akan diperoleh untuk hari esok.
Karena “ego” manusia yang selalu menginginkan hasil yang baik-baik saja
maka daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang terkandung dari
harapan yang akan diperolehnya pada masa depan. Inilah sebabnya teori ini disebut
teori harapan (expectancy theory). Jika harapan itu menjadi kenyataan maka
seseorang akan cenderung meningkatkan semangat kerjanya. Tetapi sebaliknya
apabila harapan itu tidak tercapai akibatnya ia akan menjadi malas. Teori proses ini
dibagi menjadi dua yaitu:
25
1) Teori Harapan (Expectancy Theory)
2) Teori keadilan (Equity Theory)
(Malayu S.P Hasibuan 2001:234)
c. Teori Pengukuhan
Teori ini didasarkan atas hubungan sebab akibat dari perilaku dengan
pemberian kompensasi. Misalnya promosi tergantung dari prestasi yang selalu dapat
dipertahankan. Bonus kelompok tergantung pada tingkat produksi kelompok itu.
Sifat ketergantungan tersebut bertautan dengan hubungan antara perilaku dan
kejadian yang mengikuti perilaku itu. Menurut Malayu S.P Hasibuan (2001:238)
teori pengukuhan ini dibagi menjadi dua jenis yaitu:
1) Pengukuhan positif (positive reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi
perilaku, jika pengukuh positif diterapkan secara bersyarat.
2) Pengukuhan negatif (negative reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi
perilaku, jika terjadi pengukuhan negatif dihilangkan secara bersyarat.
Jadi prinsip pengukuhan selalu berhubungan dengan bertambahnya frekuensi
dan tanggapan, apabila diikuti oleh suatu stimulus yang bersyarat. Demikian juga
prinsip hukuman (punishment) selalu berhubungan dengan berkurangnya frekuensi
tanggapan, apabila tanggapan (response) itu diikuti oleh rangsangan yang bersyarat.
Hukuman ada dua jenis yaitu:
1) Hukuman dengan penghilangan (removed) terjadi, apabila suatu pengukuhan
positif dihilangkan secara bersyarat. Misalnya: kelambatan seseorang
menyebabkan kehilangan sejumlah uang dari upahnya
2) Hukuman dengan penerapan (application) terjadi, apabila suatu pengukuhan
negatif diterapkan secara bersyarat. Misalnya: ditegur oleh atasan karena
menjalankan tugas kurang baik.
Sifat imbalan atau hukuman dan bagaimana itu dilaksanakan sangat
mempengaruhi perilaku karyawan. Manajer perlu sekali mengatur waktu secara tepat
dalam penggunaan imbalan dan hukuman dalam organisasi. Pengaturan waktu yang
tepat dari perolehan ini dinamakan penjadwalan pengukuhan (reinforcement
scheduling). Dalam jadwal yang paling sederhana tanggapan itu diberikan hanya
sesudah beberapa kejadian dari suatu tanggapan dan tidak sesudah setiap tanggapan
maka digunakan malar (terus menerus) dan sewaktu waktu akan menghasilkan
prestasi yang sangat berbeda-beda.
2.2.3 Satisfiers pada Tingkat Kepuasan Siswa dalam Mempelajari Akuntansi
Dari uraian mengenai teori-teori yang berkaitan dengan motivasi, maka
dalam penelitian ini menggunakan Teori Motivasi Higienis dari Herzberg, karena
menurut teori ini motivators atau pemuas (satisfiers) dapat meningkatkan prestasi
atau kepuasan kerja ( T. Hani Handoko, 1995:259).
Faktor-faktor yang termasuk ke dalam satisfier ini adalah:
1) prestasi (achievement)
2) pengakuan (recognition)
3) pekerjaan itu sendiri (the work itself)
4) tanggungjawab (responsibility)
5) pengembangan potensi individu (advancement)
27
Teori ini bila diaplikasikan pada pembelajaran siswa terhadap akuntansi yaitu
satisfiers mempunyai pengaruh memberikan motivasi untuk selanjutnya akan
menciptakan kepuasan siswa dalam mempelajari akuntansi dan memberikan output
optimum.
Faktor-faktor satisfiers yang mempengaruhi tingkat kepuasan siswa dalam
mempelajari akuntansi bila dihubungkan dengan teori motivasi pemeliharaan
Herzberg adalah sebagai berikut:
1) Pencapaian prestasi individual siswa dalam pelajaran akuntansi
2) Pengakuan atau aktualisasi diri dalam PBM akuntansi
3) Pembelajaran akuntansi itu sendiri
4) Tanggungjawab diri untuk mempelajari akuntansi
5) Pengembangan potensi individu siswa dalam mempelajari akuntansi
Berikut ini penjelasan dari masing-masing faktor tersebut.
1) Pencapaian Prestasi Individual Siswa dalam Pelajaran Akuntansi
Prestasi adalah hasil yang telah dicapai, dilakukan, dikerjakan
(Depdikbud,1996:768). Belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan
dengan serangkaian kegiatan, seperti membaca, mengamati, mendengarkan, meniru
dan sebagainya (Depdikbud,1996:14).
Morris L Bigge dalam Max Darsono (2001:3) mengemukakan “learning is
an enduring change in a living individual that is not heralded by a genetic
inheritance”. Belajar adalah perubahan yang menetap dalam kehidupan seseorang
yang tidak diwariskan secara genetis.
Definisi akuntansi yang paling banyak digunakan adalah definisi yang
ditetapkan oleh American acounting Association (AAA), yang mengemukakan
bahwa accounting is the process of identifying, measuring, and communicating
economic information action judgement and decision by users of the information.
Akuntansi adalah proses mengidentifikasi, mengukur, dan mengkomunikasikan
informasi ekonomi sebagai dasar pertimbangan dan pengambilan keputusan para
pemakainya. Pelajaran akuntansi di SMA adalah sebagai bagian dari pembelajaran
ekonomi.
Pencapaian prestasi belajar akuntansi dalam penelitian ini diartikan sebagai
pencapaian pengetahuan dan keterampilan dalam bidang akuntansi atau hasil yang
telah dicapai dalam penguasaan bahan mata pelajaran akuntansi secara keseluruhan
yang telah dicapai oleh siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah.
2) Pengakuan atau Aktualisasi Diri dalam PBM Akuntansi
Dalam Teori Hierarki Kebutuhan Maslow, self actualization diartikan
kebutuhan akan aktualisasi diri dengan menggunakan kecakapan, kemampuan,
keterampilan, dan potensi optimal untuk mencapai prestasi kerja yang sangat
memuaskan atau luar biasa yang sulit dicapai orang lain. (Malayu S.P Hasibuan,
2001:226). Kebutuhan ini merupakan realisasi lengkap potensi seseorang secara
penuh. Keinginan seseorang untuk mencapai kebutuhan sepenuhnya dapat berbeda
satu sama lainnya.
Pengakuan atau aktualisasi diri dalam proses belajar mengajar (PBM)
akuntansi adalah kemampuan siswa untuk menggunakan kecakapan, keterampilan,
dan potensi optimalnya untuk mencapai nilai yang memuaskan dalam pelajaran
akuntansi yang berbeda atau luarbiasa sulit dicapai siswa-siswa yang lainnya.
3) Pembelajaran Akuntansi Itu Sendiri
Pembelajaran akuntansi itu sendiri maksudnya bagaimana proses belajar
mengajar akuntansi dapat diikuti oleh siswa dalam kelas. Perlu diketahui apakah
siswa bersemangat dalam mengikuti pelajaran akuntansi atau tidak. Hal ini
bergantung pada semangat belajar siswa itu sendiri yang dipengaruhi oleh faktor dari
dalam maupun dari luar.
4) Tanggungjawab Diri Untuk Mempelajari Akuntansi
Tanggungjawab diartikan keadaan wajib menanggung segala sesuatunya
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003). Tanggung jawab individu untuk
mempelajari akuntansi diartikan bagaimana siswa dapat menanggung segala sesuatu
yang berhubungan dengan pelajaran akuntansi. Apakah individu siswa ini akan
menuntaskan pembelajaran dalam artian mengikuti proses pembelajaran akuntansi
dalam kelas dari awal sampai akhir pembelajaran atau tidak.
Tanggungjawab diri untuk mempelajari akuntansi tidak hanya terbatas pada
PBM di dalam kelas saja, melainkan mempelajari akuntansi dan tugas-tugas yang
diberikan oleh guru mata pelajaran diluar kelas, dalam hal ini di rumah.
5) Pengembangan Potensi Individu Siswa dalam Mempelajari Akuntansi
Pengembangan dalam KBBI (2003) diartikan proses, cara, perbuatan
mengembangkan. Sedangkan potensi diartikan kemampuan yang mempunyai
kemungkinan untuk dikembangkan; kekuatan; kesanggupan; daya.
Pengembangan potensi individu siswa dalam mempelajari akuntansi
maksudnya adalah proses yang dilakukan siswa untuk mengembangkan pelajaran
akuntansi. Jadi, siswa tidak hanya mampu mempelajari materi yang diajarkan oleh
guru yang berasal adari buku panduan atau buku wajib akuntansi, tetapi mampu
mengembangkan sendiri materi yang telah diajarkan terutama kearah pendekatan
praktis. Misalnya saja dalam materi bukti transaksi perusahaan dagang, siswa tidak
hanya mampu mengenali faktur-faktur penjualan, pembelian dsb, tetapi mampu
melihat secara riil bukti-bukti tersebut walaupun tidak disediakan di kelas oleh guru.
2.3 Dissatisfiers pada Tingkat Kepuasan Siswa dalam Mempelajari Akuntansi
2.3.1 Pengertian Dissatisfiers
Herzberg mendefinisikan faktor-faktor higienis atau dissatisfiers sebagai
faktor-faktor terkait dengan pekerjaan yang tidak mencukupi.( Jeff Madura, 2001:5).
Dalam Malayu S.P Hasibuan (2001:228) Herzberg mengartikan maintenance factors
adalah faktor-faktor pemeliharaan yang berhubungan dengan hakikat manusia yang
ingin memperoleh ketentraman badaniah. Kebutuhan kesehatan ini menurut
Herzberg merupakan kebutuhan yang berlangsung terus menerus, karena kebutuhan
ini kembali pada titik nol setelah dipenuhi. Misalnya orang akan makan, kemudian
lapar lagi, lalu makan lagi, dan seterusnya.
Malayu S.P Hasibuan (2001:222) memandang dissatisfiers ini adalah jenis
motivasi negatif, yaitu dengan cara menajer memotivasi bawahannya dengan
memberikan hukuman kepada mereka yang pekerjaannya kurang baik. Dengan kata
lain dissatisfiers ini merupakan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpuasan
seseorang terhadap suatu pekerjaan tertentu.
2.3.2 Teori-teori hygienic factors
Teori motivasi-higiene yang dikemukakan oleh Herzberg menyebutkan
bahwa hubungan seorang individu dengan pekerjaannya merupakan hubungan dasar
dan bahwa sikapnya terhadap kerja dapat sangat menentukan suskses atau kegagalan
individu itu. (Stephen P. Robbins, 2001: 168). Discrepancy theory yang dipelopori
oleh Porter menjelaskan bahwa kepuasan kerja seseorang diukur dengan menghitung
selisih apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Kemudian Locke
dalam Moh As’ad (1995:105) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang
tergantung pada perbedaan antara apa yang diinginkan dengan apa yang menurut
perasaannya atau persepsinya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaannya.
Orang akan puas bila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya
atas kenyataan, karena batas minimum yang diinginkan maka orang akan menjadi
lebih puas lagi walaupun terdapat discrepancy tetapi merupakan discrepancy positif.
Sebaliknya makin jauh makin jauh dari kenyataan yang dirasakan itu dibawah
standar minimum sehingga menjadi negatif discrepancy maka makin besar pula
ketidakpuasan seseorang dalam pekerjaannya.
Faktor-faktor ekstrinsik yaitu faktor pemeliharaan atau hygienic factors
(dissatisfiers) mencegah merosotnya semangat kerja atau efisiensi, dan meskipun
faktor-faktor ini tidak dapat memotivasi, tetapi dapat menimbulkan ketidakpuasan
kerja atau menurunkan produktifitas. Perbaikan terhadap faktor-faktor pemeliharaan
akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan kerja, tetapi tidak dapat
dipergunakan sebagai sumber kepuasan kerja. Faktor-faktor ini dapat
diperbandingkan dengan pasta gigi. Penyikatan gigi secara teratur tidak akan
memperbaikinya, tetapi hal itu membantu pencegahan kerusakan lebih lanjut
( T Hani Handoko, 1995:259).
Peminimalan faktor-faktor pemeliharaan sebagai faktor negatif (yang
ekstrinsik) dapat mengurangi dan menghilangkan ketidakpuasan kerja serta
menghindarkan masalah, tetapi tidak akan dapat digunakan untuk memotivasi
bawahan ( T Hani Handoko, 1995: 260). Faktor-faktor pemeliharaan ini meliputi halhal
gaji, kondisi kerja fisik, kepastian pekerjaan, supervisi yang menyenangkan,
mobil dinas, rumah dinas, dan macam-macam tunjangan lainnya. Hilangnya faktorfaktor
pemeliharaan ini dapat menyebabkan timbulnya ketidakpuasan dan absennya
karyawan, bahkan dapat menyebabkan banyak karyawan yang keluar. Faktor-faktor
pemeliharaan ini perlu mendapat perhatian yang wajar dari pimpinan agar kepuasan
dan kegairahan bekerja bawahan dapat ditingkatkan. Maintenance factors ini
bukanlah merupakan motivasi bagi karyawan, tetapi merupakan keharusan yang
diberikan oleh pimpinan kepada mereka, demi kesehatan dan kepuasan bawahan.
Menurut Herzberg maintenance factors bukan alat motivator sedangkan
menurut Maslow merupakan alat motivator bagi karyawan.
Faktor ekstrinsik atau faktor higienis atau dissatisfiers terdiri dari:
1) gaji atau upah (wages or salaries)
2) kondisi kerja (working condition)
3) kebijaksanaan dan administrasi perusahaan (policy and administration)
4) hubungan antar pribadi (interpersonal relation)
5) kualitas supervisi (quality supervisor)
2.3.3 Dissatisfiers pada Kepuasan Siswa dalam Mempelajari Akuntansi
Dari teori-teori yang berkaitan dengan dissatisfiers diatas, maka dalam
penelitian ini menggunakan Teori Motivasi Higienis dari Herzberg, karena menurut
teori ini hygienic factors atau faktor-faktor pemeliharaan (dissatisfiers) mempunyai
pengaruh menimbulkan ketidakpuasan kerja atau menurunkan produktifitas ( T. Hani
Handoko, 1995:259). Teori ini bila diaplikasikan pada pembelajaran siswa terhadap
akuntansi yaitu dissatisfiers memberikan efek negatif yaitu akan menciptakan
ketidakpuasan siswa dalam mempelajari akuntansi dan tentunya output yang tidak
diharapkan.
Faktor-faktor yang termasuk kedalam dissatisfiers yang mempengaruhi
tingkat kepuasan siswa dalam mempelajari akuntansi bila dihubungkan dengan teori
motivasi pemeliharaan Herzberg adalah sebagai berikut:
1) Kondisi sosial ekonomi keluarga
2) Kondisi PBM akuntansi
3) Kebijaksanaan dan administrasi sekolah (guru)
4) Hubungan antar siswa
5) Kualitas supervisi guru
Berikut ini penjelasan dari masing-masing faktor tersebut.
1) Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga
Dalam KBBI (2003) kodisi diartikan sebagai persyaratan, keadaan. Kondisi
sosial keluarga adalah keadaan yang ada didalam keluarga yang meliputi interaksi
dan hubungan komunikasi antar sesama anggota keluarga (Syaiful Bahri Djamarah,
2002:144). Kondisi ekonomi keluarga diartikan sebagai tingkat kesejahteraan
keluarga yang meliputi tingkat pendapatan orang tua, sarana dan fasilitas belajar
yang dimiliki siswa di rumah.
Dari berbagai penelitian yang berhubungan dengan kondisi sosial dan
ekonomi keluarga didapat bahwa kondisi ini mempengaruhi kepuasan belajar dan
prestasi belajar siswa dalam pelajaran. Hal ini mengandung pengertian bahwa apabila
keadaan sosial keluarga yang kondusif dan keadaan ekonomi keluarga yang cukup
maka siswa akan belajar dengan tenang, mampu membeli perlengkapan pelajaran
seperti buku paket, lembar kerja siswa, dan alat-alat penunjang belajar yang lain,
maka akan meningkatkan semangat belajar siswa dalam mempelajari akuntansi. Hal
ini secara otomatis meminimalkan ketidakpuasan siswa dalam mempelajari
akuntansi.
2) Kondisi PBM Akuntansi
Kondisi proses belajar mengajar akuntansi diartikan suasana belajar mengajar
akuntansi didalam kelas. Hal ini berhubungan dengan apakah susana didalam kelas
ketika terjadi PBM akuntansi tersebut kondusif atau tidak. Tingkat kondusifitas
pembelajaran akuntansi didalam kelas tergantung dari unsur-unsur dalam PBM itu
sendiri yang terdiri dari:
a) Tujuan ( pengetahuan, keterampilan, dan nilai yang ingin dicapai atau
ditingkatkan sebagai hasil kegiatan belajar mengajar)
b) Isi dan struktur mata pelajaran
c) Siswa (usia, kemampuan, latarbelakang, motivasi, dan lain-lain )
d) Pengajar (filosofinya) tentang pendidikan dan pengajaran, kompetensinya
dalam teknik mengajar, kebiasaan, dan lain-lain.
e) Ketersediaan alat-alat atau dana untuk pengadaannya, waktu persiapannya.
f) Besar kelas, jumlah jam pertemuan yang tersedia.
(T. Raka Joni dalam Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang, 1990:159)
3) Kebijaksanaan dan Administrasi Sekolah (Guru)
Kebijaksanaan dalam KBBI (2003) diartikan rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan dalam suatu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak (pemerintahan, organisasi, dsb). Sedangkan
administrasi didefinisikan usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta
penetapan cara-cara penyelenggaraan pembinaan organisasi. Usaha dan kegiatan
yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan untuk mencapai tujuan
(KBBI,2003).
Kebijakan dan administrasi sekolah dalam hal ini guru diartikan sebagai
policy atau aturan-aturan yang diterapkan guru kepada siswanya dalam hal
pembelajaran akuntansi. Implementasinya berupa penugasan-penugasan terstruktur
yang telah ditentukan waktu pengumpulannya, pengerjaan lembar kerja siswa,
pekerjaan rumah, termasuk cara atau teknik guru dalam menilai perkembangan siswa
dalam mempelajari akuntansi.
4) Hubungan Antar Siswa
Hubungan dalam KBBI (2003) diartikan sebagai keadaan berhubungan,
kontak, sangkut paut. Dalam teori hierarki kebutuhan Maslow (Malayu S.P
Hasibuan, 2001:225), disebutkan bahwa affiliation or acceptance needs diartikan
kebutuhan sosial, teman, dicintai dan mencintai serta diterima dalam pergaulan
kelompok siswa dan lingkungannya. Manusia pada dasarnya selalu ingin hidup
berkelompok dan tidak seorang pun manusia ingin hidup menyendiri di tempat
terpencil. Karena manusia adalah mahluk sosial, sudah jelas ia menginginkan
kebutuhan-kebutuhan sosial yang terdiri dari empat kelompok, yaitu:
a) Kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain dilingkungan ia hidup dan
tinggal (sense of belonging)
b) Kebutuhan akan perasaan dihormati, karena setiap manusia merasa dirinya
penting (sense of importance)
c) Kebutuhan akan perasaan maju dan tidak gagal (sense of achievement)
d) Kebutuhan akan perasaan ikut serta (sense of participation)
Hubungan antar siswa dalam hal ini diartikan interaksi yang terjadi antara
individu siswa dengan individu siswa yang lain dalam pembelajaran akuntansi. Hal
ini bisa dilihat ketika mengerjakan tugas-tugas kelompok, maupun diskusi. Ketika
siswa terlibat dalam pengerjaan tugas kelompok, maka bisa terlihat apakah siswa
tersebut berperan aktif atau tidak. Apakah individualisme nya muncul atau tidak.
Hubungan siswa yang terjalin baik, baik didalam kelas ketika PBM akuntansi terjadi
maupun diluar PBM, meminimalkan ketidakpuasan siswa dalam mempelajari
akuntansi.
5) Kualitas Supervisi Guru
Kualitas adalah tingkat baik buruknya sesuatu; kadar derajat, atau taraf.
Sedangkan supervisi diartikan pengawasan utama; pengontrolan tertinggi, dan
penyeliaan (KBBI ,2003). Guru merupakan unsur manusiawi dalam pendidikan.
Kehadiran guru mutlak diperlukan didalamnya. Kalau hanya ada anak didik tetapi
guru tidak ada, maka tidak akan terjadi proses belajar mengajar. Guru dituntut untuk
bekerja secara profesional. Hal ini menjadikan guru harus memiliki tiga macam
kompetensi yaitu: kompetensi personal, kompetensi profesional, dan kompetensi
sosial. Ketiganya mempunyai peranan masing-masing yang menyatu dalam diri
pribadi guru dalam dimensi kehidupan sekolah, dan masyarakat.
Kualitas pembelajaran guru bisa diihat dari indikator tiga kompetensi
tersebut. Apabila ketiga kompetensi tersebut sudah bisa terpenuhi, maka kualitas
guru pun sudah terukur. Begitu pula sebaliknya apabila seorang guru belum bisa
memenuhi kompetensi tersebut, maka belum bisa diakatakan guru berkualitas.
Kualitas pembelajaran guru akuntansi bisa diukur dari profesionalitas dalam
mengajar akuntansi, memilki kepribadian yang baik juga mampu berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya. Guru yang menyenangkan, tidak menakutkan, disegani
muridnya tetapi tegas dalam mengambil tindakan akan membuat suasana kondusif
sehingga akan meningkatkan semangat belajar siswa yang implikasinya akan
mengeliminir ketidakpuasan siswa dalam mempelajari akuntansi.
2.4 Kerangka Berfikir
Pembelajaran akuntansi di jurusan IPS SMA merupakan satu kegiatan wajib
yang dilakukan sesuai dengan amanat kurikulum. Fungsi pengajaran akuntansi di
SMA adalah untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap rasional,
teliti, jujur dan bertanggungjawab melalui prosedur pencatatan, pengelompokan,
pengikhtisaran transaksi keuangan yang terjadi selama periode pembukuan. Tujuan
mempelajari akuntansi di sekolah adalah membekali siswa dengan berbagai
kompetensi dasar. Dengan berbagai kompetensi tersebut siswa diharapkan mampu
menguasai dan menerapkan konsep-konsep dasar, prinsip dan prosedur akuntansi
yang benar, baik untuk kepentingan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi
maupun terjun ke masyarakat sehingga memberikan manfaat bagi kehidupan siswa
dan masyarakat di sekitarnya (Depdiknas 2003:2).
Porsi pembelajaran materi akuntansi di jurusan IPS lebih besar dibandingkan
dengan kelas 10. Bagi sebagian besar siswa, materi akuntansi biasanya dijadikan
momok, karena tingkat kesulitan mempelajarinya lebih tinggi diantara ilmu-ilmu
sosial yang lain, yang disebabkan materi akuntansi berhubungan dengan angkaangka
yang menuntut ketelitian yang tinggi. Oleh karena itu sangat penting adanya
sebuah kepuasan yang tinggi pula untuk mempelajari akuntansi ini agar output yang
tinggi dapat dicapai.
Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa satisfiers mempunyai pengaruh
memberikan motivasi untuk selanjutnya akan menciptakan kepuasan siswa dalam
mempelajari akuntansi dan memberikan output optimum. Sedangkan dissatisfiers
memberikan efek negatif yaitu akan menciptakan ketidakpuasan siswa dalam
mempelajari akuntansi dan tentunya output yang tidak diharapkan.

0 komentar:

Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!
 

KUMPULAN SKRIPSI Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template