f

Minggu, 22 Agustus 2010

Penerbitan Akta Kelahiran Anak Luar Kawin

Judul : PENERBITAN AKTA KELAHIRAN ANAK LUAR KAWIN STUDI: DI DINAS PENDAFTARAN PENDUDUK DAN CATATAN SIPIL SEMARANG Penerbitan Akta Kelahiran Anak Luar Kawin 
Studi Kasus : PENERBITAN AKTA KELAHIRAN ANAK LUAR KAWIN STUDI: DI DINAS PENDAFTARAN PENDUDUK DAN CATATAN SIPIL SEMARANG Dinas Pendaftaran Penduduk Dan Catatan Sipil Semarang 




PENERBITAN AKTA KELAHIRAN ANAK LUAR KAWIN STUDI: DI DINAS PENDAFTARAN PENDUDUK DAN CATATAN SIPIL SEMARANG
BAB I
PENDAHULUAN.

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Pada tanggal 20 November 1959 Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengesahkan hak-hak anak. Didalam mukadimah deklarasi ini tersirat antara lain bahwa umat manusia berkewajiban memberikan yang terbaik buat anak-anak.
Secara garis besar, deklarasi memuat asas tentang hak-hak anak yaitu hak untuk memperoleh perlindungan khusus, kesempatan, dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat, memiliki nama dan kebangsaan sejak lahir, mendapat jaminan sosial termasuk gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan pelayanan kasahatan, memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus jika mereka cacat, tumbuh dan dibesarkan dalam suasana yang penuh kasih dan rasa aman sedapat mungkin dibawah asuhan serta tanggung jawab orang tua mereka sendiri, dalam mendapatkan pendidikan, dan dalam hal terjadi kecelakan atau malapetaka, mereka termasuk orang yang pertama memperoleh perlindungan serta pertolongan, memperoleh perlindungan terhadap segala bentuk yang menyia-nyiakan (anak), kekejaman dan penindasan serta perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi.
Secara garis besar, maka dapat disebutkan bahwa perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua pengertian yaitu (Irma, 1990 : 13):


a. Perlindungan yang bersifat yuridis yang meliputi perlindungan dalam :

1. Bidang hukum publik

2. Bidang hukum keperdataan.

b. Perlindungan yang bersifat non yuridis yang meliputi antara lain :

1. Bidang sosial

2. Bidang kesehatan

3. Bidang pendidikan.
Jadi perlindungan anak yang bersifat yuridis ini meliputi semua aturan hukum yang mempunyai dampak langsung bagi kehidupan seorang anak, dalam arti semua aturan hukum yang mengatur kehidupan anak. Salah satu contohnya adalah perlindungan terhadap asal usul anak. Sebelum terlahirkannya anak dalam keluarga maka harus dilakukan perkawinan, perkawinan itu sendiri menurut undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jelaslah bahwa perkawinan merupakan lembaga suci dan berkuatan hukum. Dengan adanya perkawinan akan memberikan kejelasan status dan kedudukan anak yang dilahirkan. Jadi asal usul kelahiran seseorang tentunya sangat menentukan kehidupannya kelak, seperti halnya dengan status apakah dia terlahir sebagai anak sah atau anak diluar kawin. Dari perbedaan satus tersebut maka akan membedakan hak dan kedudukan anak sah dan anak luar kawin.


Dengan adanya perbedaan status anak sah dan anak luar kawin menyebabkan timbulnya beberapa pendapat dalam masalah mengenai (Irma, 1990: 28)

1. Hak memakai nama keluarga (geslachtsnaam )

2. Pemberian izin perkawinan

3. Hak untuk mewaris

4. Kekuasaan orang tua
Asal usul kelahiran anak dapat dilihat dalam akta kelahirannya. Dengan adanya akta kelahiran agar seorang anak dapat membuktikan bahwa dirinya adalah benar-benar anak dari ayah x dan ibu y.
Jika asal usul seorang anak yang tidak dilindungi oleh hukum atau dengan kata lain anak tersebut tidak memiliki akta kelahiran. Contoh jika kelak anak tersebut ingin melakukan perbuatan hukum tertentu, misalnya menuntut harta warisan orang tuanya maka anak tersebut akan mengalami kesulitan karena secara hukum tidak dapat membuktikan bahwa ia adalah anak kandung dari orang tua yang meninggalkan harta warisan. Akan tetapi lain halnya dengan anak yang memiliki akta kelahiran, maka ia akan lebih mudah membuktikan tentang asal usul kelahirannya.
Sehingga setiap kelahiran itu perlu memiliki bukti tetulis dan otentik karena untuk dapat membuktikan identitas seseorang yang pasti dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna adalah dapat kita lihat dari akta kelahirannya yang dikeluarkan oleh suatu lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan akta tersebut.


Sedangkan di negara Indonesia yang berhak mengeluarkan akta kelahiran adalah Lembaga Catatan Sipil yang diatur dalam keputusan Presiden Nomor 12 tahun 1983 tentang penataan dan peningkatan pembinaan penyelenggaraan catatan sipil yang salah satu fungsinya menurut pasal 5 ayat 2 adalah pencatatan dan penerbitan akta kelahiran.
Setelah ditetapkan keputusan Presiden tersebut maka setiap peristiwa kelahiran yang terjadi di tengah-tengah masyarakat perlu didaftarkan di Kantor Catatan Sipil guna mendapatkan akta kelahiran. Hal ini agar kedudukan hukum dan status seseorang itu dapat dilihat sewaktu-waktu dengan memiliki alat bukti yang otentik kecuali itu, informasi dan data yang ada dalam akta kelahiran juga penting untuk negara, yaitu :

1. Untuk meningkatkan tertib administrasi kependudukan

2. Untuk menunjang bagi data perencanaan pembangunan

3. Pengawasan dan pengedalian
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil judul :

PENERBITAN AKTA KELAHIRAN ANAK LUAR KAWIN : STUDI DI DINAS PENDAFTARAN PENDUDUK DAN CATATAN SIPIL SEMARANG.


1.2 IDENTIFIKASI MASALAH
Tugas dari Dinas Pendafaran Penduduk dan Catatan Sipil meliputi penyelenggaraan beberapa akta, seperti akta kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian, pergantian nama, dan juga akta pengakuan dan pengesahan anak. Maka


agar penelitian ini bertuju pada satu masalah tertentu dan lebih mendalam pembahasannya, maka perlu diadakan pembatasan masalah.
Dalam penelitian ini penulis mengadakan pembatasan pada suatu masalah tertentu, yaitu tentang penerbitan akta kelahiran khususnya terhadap anak luar kawin beserta permasalahan yang timbul beserta cara penyelesaiannya.

1.3 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah serta pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas maka untuk memudahkan menyusun skripsi ini, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pelayanan dan proses penerbitan akta kelahiran di Dinas Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil Semarang?

2. Apa saja hambatan yang muncul dalam penerbitan akta kelahiran anak luar kawin dan bagaimanakah cara penyelesaiannya?

1.4 TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan permasalahan yang ada dan manfaatnya dapat diperoleh, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif:

a. Untuk mengetahui pelayanan dan proses penerbitan akta kelahiran khusus di Dinas Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil Semarang

b. Untuk mengetahui hambatan dan cara penyelesaian dalam penerbitan akta kelahiran anak luar kawin.

2. Tujuan Subyektif :

a. Untuk menambah pengetahuan di bidang hukum perdata yang menyangkut masalah akta kelahiran.

b. Untuk menyusun skripsi guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan (S1) bidang hukum Fakultas Ilmu Sosial UNNES.

1.5 MANFAAT PENELITIAN
Nilai yang terkandung dari suatu penelitian tidak terlepas dari besarnya manfaat yang akan diperoleh dengan adanya tersebut. Dengan adanya penelitian ini manfaat yang akan penulis rumuskan adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis
Memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penerbitan akta kelahiran bagi seorang anak, sehingga seorang anak memiliki alat bukti yang otentik tentang kelahirannya dan juga dapat menambah pengetahuan di bidang hukum pada umumnya, dan hukum perdata pada khususnya

2. Manfaat Praktis
Dapat memberikan masukan kepada Dinas Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil kota Semarang yang bersangkutan sehingga dapat meningkatkan pelayanan pada masyarakat.

1.6 Sistematika Skripsi
Garis besar skripsi terbagi dalam tiga bagian yaitu : bagian awal skripsi, bagian pokok skripsi dan bagian akhir skripsi.


Bagian awal skripsi terdiri dari halaman judul persetujuan bimbingan, pengesahan kelulusan, halaman motto dan persembahan prakata, sari, dan daftar isi.
Dalam skripsi ini penulis membatasi dalam beberapa bab dan tiap bab terdiri dari sub-sub. Adapun sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut:
Pendahuluan dalam bab ini diuraikan keadaan umum mengenai masalah yang menjadi topik penelitian yang berisi tentang latar belakang, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian , manfaat penelitian dan penegasaan istilah.
Landasan teori terdiri dari tujuh sub bab I yaitu bab tentang pengertian akta, sub bab II tentang macam-macam akta, sub bab III tentang fungsi akta, sub bab IV tentang kekuatan pembuktian akta, sub bab V tentang pengertian akta kelahiran, sub VI tentang pengertian anak, dan sub bab VII tentang pengertian umum catatan sipil di Indonesia.
Metode penelitian terdiri dari tujuh sub bab yaitu sub bab I tentang dasar penelitian, sub bab II tentang lokasi penelitian, sub bab III tentang fokus penelitian, sub bab IV tentang sumber data penelitian, sub bab V tentang metode pengumpulan data, sub bab VI tentang objektivitas dan keabsahan data, sub bab VII tentang model analisis data, dan sub bab VIII tentang prosedur penelitian.
Pembahasan terdiri dari dua sub bab yaitu sub bab I tentang pelayanan dan proses penerbitan akta kelahiran dikantor catatan sipil Semarang, sub bab II tentang hambatan yang muncul dalam penerbitan akta kelahiran anak luar kawin dan cara penyelesaiannya.
Penutup terdiri dari dua sub bab yaitu bab I tentang kesimpulan umum dan kesimpulan khusus, sub bab II tentang saran saran.
BAB II
PENELAAHAN KEPUSTAKAAN

2.1 Pengertian Akta.
Istilah atau perkataan “akta” dalam bahasa Belanda disebut “Acte”/”akta” dan dalam bahasa Inggris disebut “Act”/ “deed” menurut pendapat umum mempunyai dua arti, yaitu:

1. Perbuatan (handling) atau perbuatan hukum (rechtshandeling).

2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai atau untuk digunakan sebagai perbuatan hukum tertentu yaitu berupa tulisan yang ditunjukkan kepada pembuktian tertentu.
Menurut R subekti dan Tjitrosoedibio dalam buku kamus hukum (1980:9), bahwa kata “akta” merupakan bentuk jamaan dari kata “actum”yang berasal dari bahasa layin dan berarti perbuatan-perbuatan.
Menurut Prof. Mr. A. Pitlo dalam bukunya Teguh Samudra, SH. (1992:37) berpendapat bahwa Akta adalah suatu surat yang ditanda tangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat.
Menurut Dr. Sudikno Mertokusumo, SH dalam bukunya Teguh Samudra, SH. (1992:37) berpendapat bahwa yang dimaksud akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian




Disamping akta sebagai surat yang sengaja dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti, dalam perbuatan perundang-undangan sering kita jumpai perkataan akta yang sama sekali bukanlah surat melainkan perbuatan. Hal ini berarti kita jumpai pada pasal 108 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang berbunyi :
“Seorang istri biar dia kawin diluar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu sekali pun, namun ia tidak dapat dihibahkan barang sesuatu atau memindah tangankanya, atau memperolehnya, baik dengan cuma-cuma maupan atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta,atau dengan izin tertulis dari suaminya.”
Apabila diperhatikan dengan teliti dan seksama maka penggunaan kata akta dalam ketentuan undang-undang diatas adalah tidak tepat kalau diartikan dengan surat yang diperuntukkan sebagai alat bukti. Menurut R. subekti dalam bukunya pokok-pokok hukum perdata kata akta bukanlah berati surat melainkan suatu perbuatan hukum.
Bertitik tolak dari definisi tersebut diatas, jelaslah tidak semua surat dapat disebut akta, melaikan hanya surat-surat tertentu yang memenuhu syarat-syarat yang dipenuhi supaya suatu surat dapat disebut akta adalah :

1. Surat itu harus ditandatangani.
Keharusan ditandatanganinya suatu surat untuk dapat disebut akta dikemukannya dalam pasal 1869 KUHPerdata yang berbunyi:
“Suatu akta, yang karena tidak berkuasa untuk atau tidak cakapnya pegawai termaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak diberlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan, jika ditandatangani oleh pihak”


Dari bunyi tersebut jelas bahwa suatu surat untuk dapat disebut akta harus ditandatangani, dan jika tidak ditandatangani oleh yang membuatnya, maka surat itu bukan akta.

2. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak dan perikatan.
Sesuai dengan peruntukan sesuatu akta sebagai alat pembuktian demi keperluan siapa surat itu, maka jelas bahwa surat itu harus berisikan keterangan yang dapat dijadikan bukti yang dibutuhkan. Peristiwa hukum yang disebut dalam surat itu dan yang dibutuhkan sebagai pembuktian haruslah peristiwa hukum yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan.

3. Surat itu harus diperuntukkan sebagai alat bukti.
Syarat ketiga agar suatu surat dapat disebut sebagai akta adalah surat itu diperuntukkan sebagai alat bukti.

2.2 MACAM-MACAM AKTA
Pasal 1867 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi: Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan (akta) autentik maupun tulisan-tulisan (akta) dibawah tangan. Dari bunyi Pasal ini maka akta itu dapat dibedakan atas:

a. Akta Otentik
Adalah surat yang dibikin dengan maksud untuk dijadikan bukti oleh atau dimuka seorang pejabat umum yang berkuasa untuk itu. Sedangkan menurut Sudikno dalam buku Wirjono P. (1975:103), akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun


tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimintakan dimuat didalamnya oleh yang berkepentingan.
Menurut Prof. Subekti SH (1975:419) akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu, tempat dimana akta itu dibuatnya.
Menurut Pitlo dalam bukunya Teguh Samudra, SH (1992:40) akta otentik adalah akta yang dibuat menurut bentuk Undang-undang oleh dan dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang di tempat itu.
Menurut Pasal 165 HIR akta otentik adalah “Suatu surat yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak dari padanya yaitu tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung berhubungan dengan pokok dalam akta itu”.


Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa akta otentik itu mengandung beberapa unsur pokok yaitu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum yang ditentukan oleh Undang-undang. Yang dimaksud dengan pejabat umum adalah notaries, hakim, panitera, juru sita, pegawai catatan sipil yang berarti bahwa surat-surat yang dibuat oleh dan atau dihadapan pejabat tersebut seperti akta notaries, vonis, surat berita acara siding, proses verbal pensitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian adalah merupakan akta otentik

b. Akta dibawah Tangan
Adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seeorang pejabat. Sedangkan didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1874 ayat (1) menyatakan bahwa :
“Sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditanda tangani dibawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum”.

Dari ketentuan Pasal 1878 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat kekhususan akta dibawah tangan yaitu akta harus seluruhnya harus ditulis dengan tangan si penandatangan sendiri, atau setidak-tidaknya, selain tanda tangan, yang harus ditulis dengan tangan si penada tangan adalah suatu penyebutan yang memuat jumlah atau besarnya barang atau uang yang terhutang.

2.3 FUNGSI AKTA
Di dalam hukum akta mempunyai bermacam-macam fungsi. Fungsi akta dapat berupa:

1. Syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hokum
Suatu akta yang dimaksud dengan mempunyai fungsi sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum adalah bahwa dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta maka berarti perbuatan hukum itu tidak terjadi.

2. Alat pembuktian
Fungsi suatu akta sebagai alat pembuktian dimaksudkan bahwa dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta maka berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat terbukti adanya.

2.4 KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA
Daya pembuktian atau kekuatan pembuktian akta dapat di bedakan kedalam tiga macam yaitu:
a. Kekuatan Pembuktian Lahir/Luar/Pihak ketiga.
Dimaksud dengan pembuktian lahir dari akta yaitu suatu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, bahwa suatu surat yang kelihatannya seperti akta, diterima/dianggap seperti akta dan diperlakukan sebagai akta, sepanjang tidak terbukti kebalikannya.
b. Kekuatan Pembuktian Formal
Dimaksud dengan kekuatan formal dari akta yaitu suatu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas benar atau tidaknya pernyataan yang ditandatangani dalam akta, bahwa oleh penanda tangan diterangkan apa yang tercatum di dalam akta.
c. Kekuatan Pembuktian Material
Dimaksud dengan kekuatan pembuktian material akta yaitu suatu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas benar tidaknya isi dari pernyataan yang ditandatangani dalam akta, bahwa peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta itu benar-benar telah terjadi. Jadi memberi kepastian tentang materi akta.


2.4.1 Kekuatan Pembuktian Akta Otentik
Akta otentik sebagai alat pembuktian yang mempunyai kekuatan pembuktian lengkap itu hanya berlaku terhadap para pihak (party akta) menurut ketentuan Pasal 165 HIR 1870 dan 1871 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan terhadap orang pihak lain yaitu pihak yang tidak mempunyai party akta tidak mempunyai akta pembuktian yang lengkap, dalam arti penilaian kekuatan pembuktiannya bergantung kepada pertimbangan hakim.

a. Kekuatan Pembuktian Lahir Akta Otentik
Sebagai mana telah diterangkan dalam kekuatan pembuktian lahir dari kata yaitu bahwa suatu surat yang kelihatannya seperti akta otentik, diterima/dianggap seperti akta dan di perlakukan sebagai akta otentik terhadap setiap orang sepanjang tidak terbukti sebaliknya. Jadi dalam hal ini yang telah pasti adalah kererangan yang diterangkan oleh pegawai umum (notaries) adalah benar dan berlaku terhadap setiap orang. Dengan demikian maka berarti bahwa keduanya akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir.

b. Kekuatan Pembuktian Formal Akta Otentik
Sebagaimana telah disebut dalam kekuatan pembuktian formal dari akta yaitu bahwa biasanya orang menadatangani suatu surat itu untuk mennerangkan bahwa hal-hal yang tersebut diatas tanda tangannya adalah benar keterangannya. Karena bukan menjadi tugas pegawai umum (notaries) untuk menyelidiki kebenaran dari keterangan para menghadap


yang dituliskan dalam akta, maka dalam akta otentik yang berupa akta para pihak, apabila tanda tangan para penandatangan telah diakui kebenarannya. Jadi dalam hal ini yang telah pasti adalah tentang tanggal dan tempat akta dibuta serta keaslian tanda tangan, yang berlaku terhadap setiap orang. Denagn demikian maka kedua akta tersebut mempunyai kekuatan akta pembuktian formal.

c. Kekuatan Pembuktian Material Akta Otentik
Sebagaimana telah di sebut dalam uraian tentang kekuatan pembuktian material akta, yaitu keinginan agar orang lain menganggap bahwa apa yang menjadi isi keterangan dan untuk siapa isi akta itu berlaku sebagai benar dan bertujuan untuk mengadakan bukti buat dirinya sendiri. Denagn kata lain, keinginan agar orang lain mengangap bahwa peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta adalah benar telah terjadi. Maka dalam akta otentik yang berupa akta para pihak, isi keterangan yang tercantum dalam akta hanya berlaku benar terhadap orang yang memberi keterangan itu dan untuk keterangan orang, untuk kepentingan siapa akta itu diberikan.
Sedangkan terhadap pihak lain keterangan tersebut merupakan daya pembuktian bebas dalam arti kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Sedangkan akta otentik yang berupa akta berita acara, karena akta tersebut berisikan keterangan yang diberikan dengan pasti oleh pegawai umum saja (berdasarkan apa-apa yang terjadi dilihat, dan didengar), dianggap benar isi keteragan tersebut maka berarti


berlaku terhadap orang lain. Dengan demikian akta ini mempunyai akta pembuktian material.

2.4.2 Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan
Menurut ketentuan Pasal 1875 KUHPerdata jika akta dibawah tangan tandatangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang lengkap (seperti kekuatan pembuktia dalam akta otentik) terhadap orang-orang yang menadatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.

a. Kekuatan Pembuktian Lahir Akta Dibawah Tangan
Menurut ketentuan Pasal 1876 KUHPerdata seseorang yang terhadapnya dimajukan akta dibawah tangan diwajibkan mengakui atau memungkiri tanda tangannya. Dengan adanya pengakuan terhadap tanda tangan berarti bahwa keterangan kata yang tercantum diatas tandatangan diakui dulu, hal ini dapat kita mengerti, karena biasanya seseorang yang menandatangani surat itu untuk menjelaskan bahwa keterangan yang tercantum diatas tanda tangan itu adalah benar keterangannya.
Karena ada kemungkinan bahwa tanda tangan dalam akta dibawah tangan tidak diakui atau diingkari maka akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan bukti lahir.

b. Kekuatan Pembuktian Formal Akta Dibawah Tangan
Seperti yang telah di terangkan pada kekuatan luar akta dibawah tangan, yaitu apabila tanda tangan pada akta diakui berarti bahwa pernyataan yang tercantum diatas tanda tangan tersebut diakui pula, maka disini telah pasri terhadap setiap orang bahwa pernyataan si penadatangan. Jadi akta dibawah tangan mempunyai akta pembuktian formal.

c. Kekuatan Pembuktian Material Akta Dibawah Tangan
Menyangkut ketentuan Pasal 1875 KUHPerdata yang telah dikemukan diatas dan secara singkat dapat dikatakan bahwa diakuinya akta dibawah tangan berarti akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lengkap. Jadi berarti bahwa isi keterangan tersebut berlaku pula sebagai benar terhadap si pembuat dan untuk siapa pernyataan itu dibuat.
Dengan demikian akta dibawah tangan hanya memberikan pembuktian material yang cukup terhadap orang unuk siapa pernyataan itu diberikan (kepada siapa si penanda tangan akta hendak memberikan bukti). Sedangkan terhadap pihak lainnya kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim (bukti bebas)

2.5 PENGERTIAN AKTA KELAHIRAN.
Akta kelahiran adalah Suatu akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan adanya kelahiran.
Dalam rangka memperoleh atau mendapat kepastian terhadap kedudukan hukum seseorang, maka perlu adanya bukti-bukti yang otentik yang mana sifat


bukti itu dapat dipedomani untuk membuktikan tentang kedudukan hukum seseorang itu.
Adapun bukti-bukti otentik tersebut dapat digunakan untuk mendukung kepastian, tentang kedudukan seorang itu ialah adanya akta yang dikeluarkan oleh suatu lembaga, dimana lembaga inilah yang berwenang untuk mengeluarkan akta-akta mengenai kedudukan hukum seseorang.Sesuai bunyi Pasal 261 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa :
“keturunan anak sah dapat dibuktikan dengan akta-akta kelahiran mereka, sekedar telah dibukukan dalam register catatan sipil’’.
Berdasarkan keturunan karena surat atau akta lahir memang membuktikan bahwa seorang anak yang disebutkan disana adalah anak yang disebutkan dalam akta kelahiran yang bersangkutan, paling tidak dari perempuan yang melahirkan anak itu yang anaknya disebutkan disana.
Dari isi akta kelahiran tersebut, maka akta kelahiran anak sah membuktikan tentang hal-hal sebagai berikut:

1. Data lahir

• Kewarganegaraan (WNI atau WNA).

• Tempat Kelahiran

• Hari,tanggal, bulan dan tahun kelahiran

• Nama lengkap anak.

• jenis kelamin anak

• Nama ayah

• Nama ibu

• Hubungan antara ayah dan ibu

2. Tanggal, bulan dan tahun terbit akta

3. Tanda tangan pejabat yang berwenang.
Sedangkan lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan akta yang dimaksud diatas, menurut keputusan Presiden Republik Indonesia No 12 Tahun 1983 pasal 3 ayat 2 adalah Lembaga Catatan Sipil. Dimana dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No 12 Tahun 1983 Pasal 5 ayat 2 dikatakan Sebagai berikut :
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 pasal 1 ini Kantor Catatan Sipil mempunyai fungsi menyelenggarakan :

1. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kelahiran.

2. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perkawinan.

3. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perceraian.

4. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta pengakuan atau pengesahan anak.

5. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kematian.
Bertitik tolak dari uraian diatas, maka dapatlah kita tarik suatu pengertian suatu pengertian tentang akta catatan sipil. Adapun yang diamksud dengan akta catatan sipil adalah suatu surat yang dibuat oleh pejabat negara yakni pejabat catatan sipil mengenai peristiwa yang menyangkut manusia terjadi dalam keluarga yang didaftarkan pada kantor catatan sipil seperti peristiwa kelahiran, pengakuan, perceraian dan kematian.
Peristiwa kelahiran tersebut didaftarkan pada lembaga catatan sipil. Sedangkan yang diperoleh masyarakat adalah kutipan akta kelahiran, mengenai


salinan akta kelahirannya tetap disimpan di Kantor Catatan Sipil yang isinya sama dengan kutipan akta.
Selurah akta catatan sipil mempunyai kekuatan hukum apabila telah ditandatangani oleh pegawai luar biasa catatan sipil diatas materai tempel secukupnya. Kewenangan menandatangani akta catatan sipil hanya beberapa orang yang mendapatkan surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah untuk pekerjaan itu.

Dasar Hukum Penerbitan Akta Kelahiran adalah:

1. Staatblad tahun 1849 Nomor 25 tentang Reglement pencatatan sipil Eropa.

2. Staatblad Tahun 1917 Nomor 130 juncto Staatblad Tahun 1919 Nomor 81 tentang Reglement pencatatan sipil Tionghoa.

3. Staatblad tahun 1920 Nomor 751 juncto Staatblad Tahun 1927 Nomor 654 tentang Peraturan Catatan Sipil bagi orang Indonesia asli.

4. Staatblad tahun 1933 Nomor 75 juncto Staatblad Tahun 1936 Nomor 607 tentang Reglement pencatatan sipil bagi orang Indonesia kresten Jawa, Madura dan Minahasa.

5. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 474.1-785 tentang Penerbitan akta kelahiran bagi yang terlambat pencatatannya.

6. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk.

7. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 474.1-131 tgl 5-4-1988 Tentang Pelaksanaan Dispensasi Akta Kelahiran.

8. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 4 Tahun 2000 tantang Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil.

9. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 4 Tahun 2000 tantang Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil.

10. Keputusan Wali Kota Semarang Nomor 470/317/2000 tentang Prosedur dan Tata cara Pencatatan dan Penerbitan Akta-Akta Catatan Sipil.

2.6 PENGERTIAN ANAK
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan penerus generasi cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Menurut Pasal 34 UUD 1945 anak adalah subjek hukum dari sistem hukum nasional, yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak. Pengertian menurut UUD 1945 melahirkan dan menonjolkan hak-hak yang harus diperoleh anak dari masyarakat bangsa dan Negara atau dengan kata yang tepat pemerintah dan masyarakat lebih bertanggung jawab terhadap masalah sosial yang ada pada seorang anak.
Seorang anak dianggap sebagai manusia atau seorang yang belum dianggap dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 Tahun dan


tidak kawin sebelumnya, kemudian bila perkawinan dibubarkan sebelum umur genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.
Sedangkan didalam Pasal 47 ayat (1) UUP memberikan batasan kedewasaan pada seorang anak yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya.
Didalam Pasal 1 ayat (2) UU no 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, pengertiam amak adalah seorang ayang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin. Berarti dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan secara umum bahwa seseorang dapat dikatakan seorang anak bila usianya dibawah 21 tahun dan seorang dapat diukur dewasa dengan menetapkan batasan umur 21 tahun atau seseorang yang belum mencapai 21 tahun tetapi sudah menikah atau pernah menikah.

2.6.1. Pengertian Anak Sah

1. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Di dalam Pasal UUP anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dan pengertian tentang anak sah di dalam UUP dapat ditanik dua pengertian yaitu:

a. Anak sah akibat perkawinan
Anak yang dilahirkan oleh ibunya itu meamng benar-benar dibenihkan oleh suaminya setelah terikat dalam perkawinan yang sah, sehingga anak tersebut merupakan akibat perkawinannya. Dasar keabsahan anak mi adalah bahwa seorang anak merupakan akibat


perkawinan. Anak yang menjadi akibat suatu perkawinan adalah anak yang sejak awalnya sebagai janin dalam kandungan ibunya terjadi setelah ayah ibunya terikat dalam suatu perkawinan. Kelahiran anak yang merupakan akibat perkawinan tidak hanya teijadi dalam perkawinan tapi bisa saja lahir di luar perkawinan. Jadi anak sah karena akibat perkawinan bisajadi lahir pada saat berlangsungnya ikatan perkawinan itu selesai akibat perceraian atau ayahnya meninggal dunia. Anak yang lahir setelah putusnya ikatan perkawinan itu meskipun terjadi di luar perkawinan namun konsepsi janinnya terjadi dalam ikatan perkawinan tersebut dianggap sebagai anak sah.

b. Anak sah karena lahir dalam perkawinan
Pengertian anak sah yang hanya didasarkan path saat kelahirannya dalam ikatan perkawinan berimplikasi kepada semua anak yang lahir dalam perkawinan dinyatakan sebagai anak sah, maka batasan anak sah seperti mi berlaku bagi anak yang konsepsinya dalam kandungan baik terjadi sebelum dan sesudah perkawinan ayah ibunya. Artinya menurut ketentuan tersebut, anak yang masa konsepsinya terjadi sebelum perkawinan tapi karena setelah diketahui hamil, ayah ibunya melangsungkan perkawinan sehingga anak itu terlahir dalam perkawinan. Sehingga anaknya dikategorikan sebagai anak sah. Definisi anak sah seperti itu tidak menghiraukan saat terjadinya konsepsi si anak di dalam rahim.


Di dalam pasal 44 ayat (1) dan (2) UUP memberikan hak kepada suaxni untuk menyangkal keabsahan anak yang dikandung istrinya, dengan syarat sebagai berikut:

1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak ypng dilahirkan oleh istrinya apabila ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dan perzinahan tersebut.

2) Pengadilan membenikan keputusan tentang sah atau tidaknya anak atas pennintaan pihak yang berkepentingan.

2. Menurut KUH Perdata
Anak sah adalah anak yang dilahirkan dan sebuah perkawinan yang sah. Sebagai anak sah tentunya akan memiliki hubungan keperdataan baik dengan bapaknya maupun dengan ibunya dan dapat menikmati hak-haknya sebagai anak dani kedua orang tuanya. Menurut Pasal 250 KUH Perdata, Anak sah adalah anak yang dilahirkan atau dibesankan sepanjang perkawinan, memperoleh suami sebagai bapaknya.
Dalam rumusan anak sah pada Pasal 250 KUH Perdata beranggapan bahwa suami adalah bapak anaic yang dilahirkan dalam suatu perkawinan. Akan tetapi suami dapat menyangkal sahnya anak itu dalam hal-hal yang disebutkan dalam pasal-pasal yang terdapat di dalam KUH Perdata sebagai berikut:

1. Jika anak itu dilahirkan sebelum 180 han sejak perkawinan (Pasal 251). Namun pengingkaran itu tidak boleh dilakukan dalam hal-hal benikut:

a) Bila sebelum perkawinan suami telah mengetahui kehamilan itu.

b) Bila pada pembuatan akta kelahiran dia hadir dan akta mi ditandatangani olehnya atau memuat suatu keterangan darinya yang berisi bahwa ia tak dapat menandatanganinya.

c) Bila anak itu dilahirkan mati.

2. Suami dalam masa 300 han hingga 180 han sebelum anak itu dilahirkan tidak bergaul atau mengadakan hubungan jasmaniah dengan istrinya (Pasal 252)

3. Istri melakukan perzinahan dan kelahiran anak itu disembunyikan atau dirahasiakan terhadap suami (Pasal 253)

4. Anak itu dilahirkan lewat 300 han sesudah ada putusan Pengadilan Negeri yang menyatakan perpisahan meja dan tempat tidur (Pasal 254).

5. Anak yang dilahirkan 300 han setelah bubamya perkawinan adalah tidak sah. (Pasal 255)

Hak dan Kedudukan Anak Sah
Setiap anak memiliki hak. Di dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak hanya mengatur tentang hak-hak yang seharusnya diperoleh seorang anak pada umumnya tetapi juga kewajiban antara orang tua dengan anaknya yang terdapat dalam pasal-pasal sebagai benikut:

1) Bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. (Pasal 45 ayat 1)

2) Bahwa kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdini sendini dan kewajiban tersebut berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. (Pasal 45 ayat 2)

3) Bahwa anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang balk (Pasal 46 ayat 1)

4) Bahwajika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuanya, apabila orang tua dan keluarganya dalam ganis lunus ke atas memerlukan bantuannya. (Pasal 46 ayat 2)

5) Bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama kekuasaan orangtuanya tidak dicabut. (Pasal 47 ayat 1)

6) Bahwa orang tua berkewajiban mewakili anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun mengenai perbuatan hokum di dalam dan di luar Pengadilan. (Pasal 47 ayat 2)

7) Bahwa orangtua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan banang-banang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. (Pasal 48)

8) Bahwa apabila seorang anak atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadapseorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudana kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal (Pasal 49 ayat 1):

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya kepada anaknya

b. Ia berkelakuan buruk sekali

9) Meskipun orang tuanya dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. (Pasal 49 ayat 2 )

2.6.2. Pengertian Anak Luar Kawin

1. Menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
UUP memberikan pengertian anal luar kawin tetapi hanya menjelaskan pengertian anak sah dan kedudukan anak luar kawin. Akan tetapi apabila dilihat dari bunyi pasal 42 kemudian pasal 43 ayat (1) dan (2) UUP maka dapat ditarik pengertian bahwa anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan dan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya saja.

2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Anak luar kawin merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan diluar perkawinan yang sah. Predikat sebagai anak luyar kawin tentunya alkan melekat pada anak yang dilahirkam diluar perkawinan tersebut. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata pengertian anak luar kawin dibagi menjadi dua macam yaitu sebagai berikut:

1. Anak luar kawin dalam arti luas.
Adalah anak luar perkawinan karena perzinahan dan sumbang. Anak Zina adalah Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah, antara laki-laki dan perempuan dimana salah satunya atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. Anak Sumbang adalah Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi. Undang-Undang melarang perkawinan mereka mempunyai kedekatan hubungan darah atau semenda. Mereka-mereka yang ada adalah keluarga sedarah atau semenda sampai derajat tertentu, tidak boleh saling menikahi.

2. Anak luar kawin dalam arti sempit
Adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah. Anak zina dan anak sumbang tidak bisa memiliki hubungan dengan ayah dan ibunya. Bila anak itu terpaksa disahkan pun tidak ada akibat hukum nya (Pasal 288 KUHPerdata). Kedudukan anak itu menyedihkan. Namun pada prakteknya dijumpai hal-hal yang meringankan, karena biasanya hakikat zina dan sumbang itu hanya diketahui oleh pelaku zina itu sendiri.

Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin.
Status sebagai anak yang dilahirkan diluar perkawinan merupakan suatu masalah bagi anak luar kawin tersebut, karena mereka tidak bisa


mendapatkan hak-hak dan kedudukan sebagai anak pada umumnya seperti anak sah.
Status sebagai anak diluar perkawinan dalam pandangan hukum hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya. Didalam Pasal 43 ayat (1) dan (2) UUP memberikan pengertian tentang kedudukan anak luar kawin sebagai berikut:

1. Anak yang lahir diluar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

2. Kedudukan tersebut dalam ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Hak anak selama masih dalam kandungan sampai selesai menyusui ibunya memiliki hak yang sama antara anak sah dan anak luar kawin. Namun hak keperdataan antara keduanya berbeda. Orang tua wajib memberikan hak anak secara total. Hak-hak itu bisa berupa penjagaan dan pemeliharaan. hak kekerabatan, nama baik, hak penyusuan, pengasuhan, warisan, bahkan sampai pendidikan dan pengajaran. Hanya saja, hak-hak yang bisa dimiliki anak luar kawin jelas berbeda dengan hak anak yang statusnya sebagai anak sah.
Sehingga anak luar kawin tidak akan memperoleh hak yang menjadi kewajiban ayahnya, karena ketidak absahan pada anak luar kawin tersebut. Konsekwensinya adalah laki-laki yang sebenarnya menjadi ayah tidak memiliki kewajiban memberikan hak anak tidak sah. Sebaliknya anak itupun tidak bisa menuntut ayahnya untuk memenuhi kewajibanya yang dipandang menjadi hak anak bila statusnya sebagai anak tidak sah. Hak anak dari


kewajiban ayahnya yang merupakan hubungan keperdataan itu, biasanya bersifat material.


2.7 PENGERTIAN UMUM CATATAN SIPIL DI INDONESIA

2.7.1 Pengertian Catatan Sipil
Di Indonesia dikenal adanya sutu lembaga catatan sipil yang diusahakan oleh pemerintah Lembaga Catatan Sipil ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari lembaga catatan sipil pada zaman Belanda yang dikenal dengan nama “Burgelijke stand” atau yang dikenal dengan singkatan B.S yang berarti suatu lembaga yang ditugaskan untuk memelihara daftar-daftar atau catatan-catatan guna pembuktian status atau peristiwa-peristiwa penting bagi Negara seperti kelahiran , perkawinan, dan kematian.
Mengenai peristilahan dari catatan sipil, bukanlah dimaksud sebagai suatu catatan dari orang-orang sipil atau golongan sipil sebagai lawan dari kata golongan militer, akan tetapi catatan sipil itu merupakan suatu catatan menyangkut kedudukan hukum seseorang.
Oleh karena Negara Indonesia adalah suatu negara hukum maka kedudukan hukum dari suatu peristiwa pada setiap warga negaranya harus jelas dan pasti. Manusia dalam menjalankan hidupnya mengalami peristiwa-peristiwa penting, antara lain : peristiwa perkawinan, peristiwa kelahiran, peristiwa pengakuan atau pengesahan anak, peristiwa perceraian, dan peristiwa kematian.


Semua peristiwa yang di kemukakan di atas adalah sangat penting artinya karena peristiwa tersebut akan membawa akibat hukum bagi kehidupan orang yang bersangkutan dan juga terhadap orang lain atau pihak ketiga, misalnya : seorang yang bernama y meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri dan tiga orang anaknya. Dengan meninggalnya y tersebut maka menimbulkan akibat hukum, yaitu istri dan tiga anak-anaknya akan tampil secara bersama-sama sebagai ahli waris y.
Bagaimana cara untuk membuktikan bahwa ahli waris tersebut adalah istri yang sah dari yang meninggal dunia dan bagaimana cara untuk membuktikan bahwa ketiga anaknya betul-betul anak kandung yang sah.
Sehingga dalam hal ini kita tidak akan mengalami kesulitan, apabila telah ada bukti yang otentik berupa akta perkawinan dan akta kelahiran yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Atau dengan kata lain, bahwa dengan adanya akta perkawinan maka istri tadi mempunyai suatu pegangan sebagai alat bukti jati diri yang yang menunjukkan (membuktikan) bahwa ia benar-benar adalah janda dari Y.
Demikian pula ketiga anak kandung tersebut, dengan memiliki/mempunyai akta kelahiran berarti mempunyai pegangan sebagai alat bukti jatidiri yang menunjukkan (membuktikan) bahwa mereka benar-benar anak kandung dari Y.
Dari penjelasan tersebut diatas jelaslah bahwa setiap peristiwa penting yang terjadi dalam keluarga, seperti (Situmorang, 1991:10): perkawinan, kelahiran, pengakuan/pengesahan anak, perceraian dan kematian sangat perlu


didaftarkan di Kantor Catatan Sipil oleh yang berwenang dan bertugas untuk memberikan kepastian serta membuat catatan selengkap-lengkapnya atas peristiwa-peristiwa tersebut diatas dan kemudian membukukannya.
Semua daftar dari peristiwa tersebut dibukukan adalah terbuka untuk umum, sehingga baik yang bersangkutan sendiri maupun orang lain yang berkepentingan dapat mengetahui dan memperoleh bukti serta kepastian tentang perkawinan, kelahiran, pengakuan/pengesahan anak, perceraian dan kematian seorang. Dalam rangka untuk keperluan itulah Pemerintah mengadakan Lembaga Catatan Sipil.
Dalam kaitannya dengan pengertian kelembagaan Catatan Sipil itu ada beberapa pendapat para sarjana yang memberikan pengertian tentang catatan sipil antara lain adalah:
H.F.A Vollmar dalam victor sitomorang (1991:12) berpendapat bahwa, catatan sipil adalah suatu lembaga yang diadakan oleh penguasa/ pemerintah yang dimaksud membukukan selengkap mungkin dan Karena itu memberikan kepastian sebesar-besarnya tentang semua peristiwa yang penting bagi status keperdataan seseorang: perkawinan, kelahiran, pengakuan, perceraian dan kematian.
Sedang Lie Oen Hock dalam Victor sitomorang (1991:12) mengartikan catatan sipil adalah suatu lembaga yang bertujuan mengadakan pendaftaran, pencatatan, serta pembukuan selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya serta memberikan kepastian hukum yang sebesar-besarnya atas peristiwa kelahiran, pengakuan, perkawinan, dan kematian.


Sedangkan menurut R. Soetojo Prawirohamidjo dan Asis Safroedin dalam victor sitomorang (1991:12), bahwa lembaga catatan sipil adalah suatu lembaga yang bertujuan untuk memungkinkan dengan selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya memberikan kapasitas sebesar-besarnya mengenai kejadian seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya.
Bertitik tolak dari beberapa pendapat mengenai pengertian catatan sipil tersebut diatas, maka dapatlah ditarik suatu pengertian bahwa, Catatan Sipil adalah suatu lembaga yang sengaja diadakan oleh pemerintah yang bertugas untuk mencatat, mendaftarkan, serta membukukan selengkap mungkin tiap peristiwa penting bagi status keperdataan seseorang, misalnya perkawinan, kelahiran, pengakuan/pengesahan anak, perceraian dan kematian serta ganti nama.
Seluruh peristiwa yang terjadi dalam keluarga yang mempunyai aspek hukum didaftarkan dan dibukukan sehingga baik yang bersangkutan sendiri maupun orang lain yang berkepentingan mempunyai bukti yang autentik tentang peristiwa-peristiwa tersebut, sehingga kedudukan hukum seseorang menjadi jelas dan tegas.
Apabila dilihat dari segi hukum administrasi negara, bahwa pengeluaran akta-akta oleh catatan sipil adalah suatu perbuatan administrasi negara dari suatu lembaga yang berwenang/berhak melakukan perbuatan administrasi negara yang berupa ketetapan yang berbentuk akta catatan sipil dari peristiwa-peristiwa yang dilaporkan pada lembaga tersebut, yang pada prinsipnya memenuhi sifat-sifat kongkret, individual, formal, dan final.

2.7.2 Sejarah Terbentuknya Lembaga Catatan Sipil
Lembaga catatan sipil yang ada di Indonesia sekarang ini sebenarnya merupakan kelanjutan pengambil alihan masa jajahan Belanda yang dinamakan Burgelijke Stand (BS), pada zaman Belanda, Burgelijke stand ini merupakan suatu lembaga yang diadakan oleh penguasa, yang bermaksud membukukan tentang semua perirtiwa atau kejadian yang penting, misalnya kelahiran, perkawinan, pengakuan, perceraian dan kematian.
Setiap peristiwa yang tersebut dicatat sebagai bukti mengenai peristiwa itu yang dapat digunakan baik yang berkepentingan maupun pihak ketiga setiap saat. Sedangkan Burgelijke Stand yang ada di negeri Belanda ini berasal dari perancis, hal ini terbukti dari sejarah dimana kita ketahui pada abad ke 18, Belanda pernah pula menjadi negara jajahan Perancis.
Jauh sebelum negara belanda mengenal lembaga catatan sipil, di Perancis lembaga semacam ini telah ada sejak revolusi Perancis, dinegara Perancis sendiri terdapat suatu kenyataan bahwa pendeta-pendeta sebelumnya menyelenggarakan atau menyediakan daftar-daftar mengenai perkawinan, kelahiran, kematian, dan sebagainya.
Lembaga catatan sipil di Perancis kemudian diterapkan di Belanda. Di Batavia pelaksanaan catatan sipil telah ada sejak tahun 1802. Hal ini terbukti dari arsip yang tersimpan di kantor catatan sipil propensi daerah khusus ibukota Jakarta, meskipun secara resmi kelembagaan catatan sipil baru ada secara de jure tahun 1850 yang kedudukannya disesuaikan dengan wilayah


kota Jakarta itu sendiri akan tetapi dalam pelaksanaannya untuk beberapa golongan penduduk saja terutama bangsa eropa.
Hal ini seirama dengan politik pemerintah pada waktu itu, yang membagi dan menggolongkan pendudukkan dan kemudian bagi setiap golongan penduduk berlaku hukum yang berbeda. Hal ini dapat diketahui dari pedoman politik pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia yang dituliskan dalam pasal 131 “Indische Staats Regelings” Yang pokoknya sebagai berikut :

1. Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana serta hukum acara perdata dan pidana) harus diletakkan dalam kitab Undang-undang, yaitu dikodifikasikan.

2. Untuk golongan bangsa Eropa dianut perundang-undangan yang berlaku dinegara Belanda (asas konkordansi)

3. Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan timur asing (Tionghoa, arab dan sebagainya), jika ternyata“kebutuhan kemasyarakatan” mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku untuk mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk itu harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku dikalangan mereka, dan juga boleh diadakan penyimpangan-penyimpangan jika diminta untuk kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2).

4. Orang Indonesia asli dan Timur asing, sepanjang mereka belum ditentukan dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa eropa diperbolehkan menundukkan diri (onderwerpen) pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa penundukan diri ini boleh dilakukan baik secara umum maupun dalam perbuatan tertentu saja.

5. Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam Undang-Undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka yaitu hukum adat (ayat 6).
Kemudian mengenai pendudukan diri dipertegas atau diperjelas dengan adanya staatblad 1917 nomor 12 mengenai kemungkinan menundukan diri pada hukum eropa, dalam hal ini ada empat macam pendudukan diri:

1. Pendudukan pada seluruh hukum perdata eropa.

2. Pendudukan diri pada sebagian hukum perdata eropa.

3. Pendudukan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu

4. Pendudukan diri secara diam-diam yaitu menurut pasal 29 yang berbunyi:


“Jika seorang bangsa Indonesia asli melakukan sesuatu hukum yang tidak dikena dalam hukumnya sendiri maka dianggap secara diam-diam menundukkan diri pada hukum eropa”.
Sesuai atau sejalan dengan penggolongan penduduk yang disebutkan diatas, maka untuk melaksanakan catatan sipil maka ditetapkanlah Reglement sebagai berikut :

1. Reglement catatan sipil untuk golongan Eropa dan bagi mereka menurut hukumnya dipersamakan dengan hukum yang berlaku bagi golongan Eropa, yang diundangkan pada tanggal 10 Mei 1949 (Stbl. 1849 nomor 25), dengan judul selengkapnya reglement mengenai penyelenggaraan daftar-daftar catatan sipil untuk orang-orang Eropa dan orang-orang yang dipersamakan dengan mereka.

2. Reglement mengenai penyelenggaraan daftar-daftar catatan sipil untuk orang Tionghoa (Ordonantie pada tanggal 19 Maret 1917: Stbl.1917 Nomor 130 ini telah diubah dengan statblad 1918 Nomor 356 dan setelah pembaruan itu, maka ditetapkan dan berlaku mulai pada tanggal 1 mei 1919 dengan Stbl.1919 Nomor 31).

3. Reglement mengenai penyelengaraan daftar-daftar catatan sipil untuk beberapa golongan Indonesia di Jawa dan Madura, yang tidak termasuk rakyat swapraja (Ordonantie tanggal 15 Oktober 1920 Stbl 751 jo. Stbl 1927 Nomor 564 dan setelah diubah pada 1926 da tahun 1927 mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1928)

4. Reglemet catatan sipil orang-orang Indonesia nasrani (ordonantie tanggal 15 Februari 1933 stbl 1933 Nomor 75 jo. Stbl 1936 Nomor 607) Nama lengkap reglement tersebut adalah reglement mengenai penyelenggaraan daftar-daftar catatan sipil untuk orang-orang Indonesia nasrani di Jawa dan Madura dibagian dari residensi Manado yang dikenal dibawah Minahasa dan Ambonia, Sasapura, dan Banda, tanpa Pulau Teun, Mila dan Serua dari Residen Maluku. Menurut Stbl 1936 nomor 607 Reglement ini mulai

berlaku pada tanggal 1 Januari 1937 untuk semua daerah yang disebut dalam reglement tersebut.

5. Daftar-daftar catatan sipil untuk perkawinan campuran (ordonantie tanggal 4 juni 1904 stbl 1904 Nomor 279) Ordonantie ini mulai berlaku tanggal 1 Juli 1904.
Dengan adanya instruksi presidium kabinet nomor 31/u/in/12/1966 tertanggal 27 Desember 1964, maka penggunaan istilah golongan seperti terdapat dalam pasal 163 IS tersebut dihapuskan dan sejak saat itu pula catatan sipil dinyatakan terbuka untuk seluruh penduduk Indonesia baik bagi yang berkewarganegaraan Indonesia asli maupun bagi yang berkewarganegaraan asing.
Dengan adanya beberapa peraturan perundangan seperti tersebut diatas, maka pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Peraturan catatan sipil yang berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia (untuk orang-orang golongan Eropa dan Timur asing)

2. Peraturan catatan sipil yang hanya berlaku pada beberapa wilayah tertentu di Indonesia, yakni untuk orang-orang Indonesia bukan beragama Kristen dan yang beragama Kristen.
Orang Indonesia asli ini masih terdapat banyak batasan bagi mereka yang diharuskan mempunyai akta kelahiran dan kematian dengan persyaratan-persyaratan sebagai berikut :

a. Mereka yang berhak memakai salah satu dari pangkat atau gelar bangsawan Indonesia, kecuali mereka yang hanya memakai gelar “mas”

b. Pegawai negeri dengan gaji minimal 100 golden

c. Opsir-opsir tentara dan pensiunan

d. Semua orang yang menurut firman raja tanggal 15 September 1916 Nomor 26 (Stbl. 1917 No.12) telah berlaku atau menundukkan diri pada sebagian hukum privat golongan Eropa.

e. Turunan laki-laki orang tersebut a,b,c.d.

2.7.3 Status Hukum Lembaga Catatan Sipil.
Dahulu banyak yang berpendapat bahwa lembaga catatan sipil berada dibawah Departemen Agama atau Departemen Kehakiman, mengingat lembaga ini mengatur masalah-masalah keluarga yang menyangkut kepentingan perorangan yang mempunyai akibat hukum. Dahulu Catatan Sipil selalu menyatakan Departemen Kehakiman merupakan induk dari Lembaga Catatan Sipil akan Deepartemen kehakiman tidak mengakui.
Sebagai tindak lanjutan, kemudian tanggal 25 Februari 1983 dikelurkannya kepusan Presiden No. 12 Tahun 1983 tentang penatan dan pengkatan pembinaan penyelenggaran Catatan sipil. Dalam pasal 1 ayat 1 ini keputusan presiden menyatakan bahwa menteri dalam negeri secara fungsional mempunyai kewenangan dan tanggung jawab penyelenggaran catatan sipil sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Dengan ditetapkannya keputusan Presiden No.12 Tahun 1983 ini jelas bahwa Status hukum lembaga catatan sipil berada dibawah Departemen Dalam Negeri yaitu penyelenggaran sebagai tugas umum pemerintahan dan


pembangunan dalam bidang Pemerintahan Umum Otonomi Daerah pembangunan masyarakat desa Agraria.
Adapun yang bertanggung jawab mengenai penyelenggaran catatan sipil didaerah adalah Gubernur Kepala Daerah Bertanggung Jawab Atas Penyelenggaran Catatan Sipil.

2.7.4 Tujuan Lembaga Catatan Sipil
Seluruh peristiwa yang terjadi didalam keluarga yang mempunyai aspek hukum didaftarkan dan dibukukan sehingga yang bersangkutan itu sendiri atau orang lain yang mempunyai kepentingan mempunyai bukti yang otentik tentang peristiwa peristiwa tersebut, sehingga kedudukan hukum menjadi jelas.
Tujuan catatan sipil sebagai berikut (Sitomurang,1991:13):

a. untuk mewujudkan kepastian hukum.

b. Untuk membentuk ketertiban hukum.

c. Guna pembuktian.

d. Untuk memperlancar aktivitas pemerintah dibidang kependudukan/ administrasi kependudukan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Dasar Penelitian
Metode penelitian ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam suatu penelitian. Metode penelitian yang tepat dapat mempelancar proses penelitian dan hasil yang diperoleh dapat dipercaya dan dipertanggung jawabkan.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptis berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang – orang dan pelaku yang diamati (Moleong 2003:3)
Penelitian kualitatif tidak bertujuan untuk menguji atau membuktikan kebenaran suatu teori tetapi dikembangkan dengan data yang dikumpulkan.
Digunakannya penelitian ini dengan alasan agar penelitian ini terarah pada penerbitan akta kelahiran anak luar kawin di Dinas Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil Semarang.

3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian ini dilaksanakan atau tempat dimana seseorang melaksanakan penelitian. Tujuan ditetapkannya lokasi penelitian adalah agar diketahui jelas obyek penelitian. Adapun lokasi penelitian adalah di Dinas Pendaftan Penduduk dan Catatan Sipil Semarang.



3.3 Fokus Penelitian
Fokus penelitian menyatakan pokok persoalan yang m,enjadi pusat perhatian. Penerapan fokus penelitian merupakan tahap yang sangat menentukan dalam penelitian kualitatif. Hal ini karena suatu penelitian kualitatif dimulai dari sesuatu yang kosong atau tanpanya adanya masalah yang bersumber dari pengalaman peneliti atau melalui kepustakaan ilmiah (Moleong,2000:62) Jadi fokus dari penelitian kualitatif sebenarnya adalah masalah itu sendiri.

1. Pelayanan dan Proses penerbitan akta kelahiran di Sinas Pendaftan Penduduk dan Catatan Sipil Semarang.

2. Hambatan yang muncul dalam penerbitan akta kelahiran anak luar kawin dan cara penyelesaiannya.

3.4 Sumber Data Penelitian.
Sumber data penelitian adalah subjek dari mana data itu diperoleh (Arikunto,2002:107)
Menurut Lofland dan Lofland dalam Morleong (2000:113), sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan dan selebihnya adalah data tambahan seperti Dokumen dan lain-lain.
Dalam penelitian kualitatif ini, maka sumber data yang digunakan antara lain:

1. Data Primer
Data primer merupakan data-data yang di peroleh langsung dari responden. Dalam hal ini adalah data yang diperoleh dari Kantor Catatan Sipil Semarang.

2. Data Sekunder
Data sekunder ini merupakan data data yang diperoleh dari literatur yang berupa buku buku atau dokumen yang berkaitan dengan data penelitian.

3.5 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian perlu menggunakan metode pengumpulan data agar data yang diperoleh menjadi obyektif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah metode wawancara, observasi dan dokumentasi.

1. Metode Wawancara.
Metode wawancara adalah pengumpulan data melalui percakapan yang dilakukan dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu ( Moleong 2001:135).
Metode wawancara ini berupa interview yang mendalam terhadap informan. Wawancara mendalam ini dilakukan untuk mencari data data mengenai obyek yang diteliti.
Dalam penelitian ini yang telah diwawancarai adalah

1. Ibu Upi Yuniasih S.H. Selaku Kepala Seksi Kelahiran dan kematian

2. A. Yudi M, SH Selaku Kepala Sub Dinas Pencatatan Sipil Semarang.

3. Karyawan dinas Pendaftaran penduduk dan catatan sipil

2. Metode Observasi
Metode observasi adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan secara langsung maupun tidak langsung (menggunakan alat) terhadap subyek yang diteliti (Ashofa 1998 :26 )
Pengamtan ini dilakukan di Dinas Penduduk dan Catatan Sipil di Jl. Knguru Raya No. 3 Semarang.

3. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis seperti arsip arsip dan juga buku buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah penelitian (Rachman 1995:96). Dokumen yang diperoleh berupa kutipan akta kelahiran anak syah dan anak luar kawin.


3.6 Objektivitas dan Keabsahan Data
Menggunakan teknik triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk kepentingan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong 2001:178)
Teknik triangulasi yang digunakan penulis adalah pemeriksaan melalui sumber lainnya yang dapat dicapai melalui jalan (Moleong 2001:178) :

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara.

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan yang dikatakan secara pribadi.

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.

4. Membandingkan keadaan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain.

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan.


Akan tetapi dalam penelitian ini penulis tidak menggunakan kelima-limanya untuk membandingkan. Penulis hanya menggunakan perbandingan yaitu:

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara.

2. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan.

3.7 Model analisis data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat dikemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan data (Moleong 2001:103). Analisis data menggunakan metode deskriptif kualitatif, dimana pembahasan penelitian serta hasilnya diuraikan melalui kata kata berdasarkan data empiris yang diperoleh. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data yang bersifat kualitatif, maka analisis data yang digunakan non statistik.
Analisis data dalam penelitian kualitatif berlangsung secara interaktif, dimana pada setiap tahapan kegiatan tidak berjalan sendiri-sendiri. Meskipun tahap penelitian dilakukan sesuai dengan kegiatan yang direncanakan, akan tetapi kegiatan ini tetap harus dilakukan secara berulang antara kegiatan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data serta vertifikasi atau penarikan suatu kesimpulan.
Untuk menganalisis data dalam penelitian ini, digunakan langkah langkah atau alur yang terjadi bersamaan yaitu pengumpulan data,reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau alur vertifikasi data (Miles 1992:15-19).

1. Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan yang dilakukan terhadap berbagai jenis dan bentuk data yang ada dilapangan kemudian data tersebut dicatat.

2. Reduksi data.
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan data kasar yang muncul dari catatan-catatan yang tertulis dilapangan (Miles dan Huberman 1992:17)
Reduksi data ini bertujuan untuk menganalisis data yang lebih mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data agar diperoleh kesimpulan yang dapat ditarik atau verifikasi.
Dalam penelitian ini, proses reduksi data dilakukan dengan mengumpulkan data dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi kemudian dipilih dan dikelompokkan berdasarkan kemiripan data.

3. Penyajian data
Penyajian data adalah pengumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan (Miles dan Huberman 1992:18)
Dalam hal ini, data yang telah dikategorikan tersebut kemudian diorganisasikan sebagai bahan penyajian data. Data tersebut disajikan secara deskriptif yang didasarkan pada aspek yang teliti yaitu penerbitan akta kelahiran anak luar kawin.

4. Vertifikasi Data
Vertifikasi data adalah sebagian dari suatu kegiatan utuh, artinya makna makna yang muncul dari data telah disajikan dan diuji kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya (Miles dan Huberman 1992:19)
Penarikan kesimpulan berdasarkan pada pemahaman terhadap data yang disajikan dan dibuat dalam pernyataan singkat dan mudah dipahami dengan mengacu pada pokok permasalahan yang diteliti.

3.8 Prosedur Penelitian
Salah satu hal yang mempengaruhi keilmiahan hasil penelitian adalah prosedur penelitian yang telah dipergunakan. Penelitian ini disajikan dalam bentuk skripsi, sehingga prosedur yang dipakai mengacu pada aturan penyusunan skripsi yang berlaku sekarang yaitu:

1. Pengajuan Tema Skripsi
Tema yang diajukan kepada Dewan Skripsi dan setelah disetujui, kemudian dilaporkan kepada ketua jurusan untuk ditetapkan dosen pembimbingnya.

2. Penyusunan Proposal
Proposal merupakan langkah awal sebelum penelitian dilakukan. Proposal ini dibimbingkan kepada dosen pembimbing sampai di setujui.

3. Ijin Penelitian
Penelitian ini dilakukan dusalah satu instansi pemerintah sehingga harus mendapatkan ijin tertulis. Pertama ijin diajukan kepada Kantor Catatan Sipil Semarang, yang kemudian memberikan ijin tertulis melalui surat yang


diajukan kepada Dinas Pendaftarn Penduduk dan Catatan Sipil Semarang yang menjadi tempat dilakukannya penelitian.

4. Penyusunan Hasil Penelitian
Setelah penelitian selesai dilakukan, penulis mengolah data yang ada dalam bentuk tulisan sebagai hasil penelitian yang utuh. Hasil penelitian kemudian dibahas dengan menggunakan teori teori yang mempunyai relevansi dengan hasil penelitian tersebut. Dari sini penulis dapat membuat simpulan dari apa yang telah diteliti dann sekaligus memberikan saran saran yang diperlukan

0 komentar:

Komentar anda sangat bermanfaat untuk perkembangan blog ini. Jangan lupa adab berkomentar, dan jangan buang waktu untuk spam. Terima Kasih!!!
 

KUMPULAN SKRIPSI Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template